SEJARAH GEREJA






Kekristenan Di Indonesia Pada Masa Hindia-Belanda Abad XIX Sampai Pertengahan Abad XX


                   Abstraksi
Transisi-transisi yang terjadi di Eropa maupun di Indonesia mengakibatkan kekristenan juga mengalami transisi, khususnya di Indonesia sendiri. Transisi yang terjadi di Eropa membawa dampak terhadap kehidupan Gereja pada saat itu, sehingga Gereja mengalami gejolak yang cukup besar. Pengaruh dari transisi tersebut ialah Revolusi di Perancis pada tahun 1789, yang membawa pengaruh terhadap negara jajahannya yaitu Belanda walaupun hal itu tidak berlangsung lama tetapi sudah cukup membawa pengaruh besar terhadap kekristenan yang ada di Indonesia juga. Pembubaran pemerintahan VOC salah satu bukti dari pengaruh tersebut, dan pemerintahan VOC beralih kepada pemerintahan Hindia-Belanda yang menganut azas netralitas dalam hal agama (salah satu dampak dari Revolusi Perancis). Transisi yang terjadi di Eropa menciptakan suatu gerakan Pietisme/ Revival yang menghadirkan lembaga-lembaga Injil bisa hadir di Indonesia juga mendorong orang-orang Pribumi untuk turut ikut di dalamnya. Bagaimana kekristenan di masa Hindia-Belanda?
               Pembahasan
 Transisi di Eropa
Sebagaimana kita ketahui, renaissance yang timbul pada abad ke-XV[1], telah memaklumkan bahwa manusia sendiri adalah kaidah segala sesuatu yang ada, bukan Gereja atau Alkitab. Masih ada dua abad lamanya bahwa hidup umum di Eropa takluk kepada kuasa penyataan Allah, seperti yang diajarkan dan diwujudkan oleh Gerejanya. Reformasi dan kontra-reformasi masih memimpin masyarakat dalam abad ke-XVI dan ke-XVII, akan tetapi di samping itu, pengaruh aliran renaissance[2] makin lama semakin meresap di berbagai lapangan hidup, sehingga bertambah banyak orang, teristimewa dari golongan cendikiawan, mulai melepaskan diri dari kuasa Firman Tuhan. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan umum mulai memisahkan diri dari ajaran-ajaran dan anggapan-anggapan Gereja Kristen.[3] Pemimpin Pencerahan Perancis, seorang yang kenamaan, ialah Voltaire (uc. Voltèr; 1694-1778), yang menerangkan pandangan-pandangan Pencerahan kepada rakyat jelata dan amat membenci agama Kristen pada umumnya dan Gereja Roma pada khususnya. “Hancurkanlah badan keji itu!” itulah semboyannya.[4] Kebudayaan Barat telah mengalami perubahan-perubahan yang besar selama abad ke-18, dan penghayatan orang-orang Kristen akan imannya juga tidak luput dari pengaruh perubahan-perubahan itu. Di sini kita akan berbicara mengenai kedua aliran utama yang muncul di Eropa, yaitu mengenai Pencerahan[5] dan Pietisme/ Revival. Hasil-hasil pencerahan ialah kebebasan manusia terhadap alam adalah kebebasan untuk menyelidiki alam secara alamiah. Ilmu pengetahuan itu menghasilkan tekhnik, yang dalam abad ke-19 memungkinkan perluasan kekuasaan orang-orang Eropa di seberang lautan.  Pencerahan mempengaruhi juga sikap orang-orang Eropa terhadap bangsa-bangsa lain. Lain lagi dengan aliran Pietisme[6] (di daratan Eropa) atau Revival (di negeri-negeri yang berbahasa Inggris). Aliran ini ingin membaharui gereja. Cita-citanya ialah supaya orang yang menamakan diri orang-orang Kristen itu benar-benar menghayati imannya.[7] Eropa menjelang akhir abad kedelapan belas adalah sebuah masyarakat yang tidak normal, yang kaya menjadi lebih kaya, sedangkan yang miskin kelaparan. Di Perancis, orang-orang miskin meluapkan frustrasi mereka dalam Revolusi Perancis tahun 1789.[8] Revolusi Perancis (1789-1815)[9] di Perancis menjatuhkan pemerintahan tradisional di bawah pimpinan raja dan kaum bangsawan, yang didukung oleh pimpinan gereja. Diusahakan mengatur negara menurut gagasan-gagasan yang bersifat demokratis, dan memutuskan ikatan-ikatan tradisional antara negara dan gereja. Revolusi Perancis mempengaruhi juga negara-negara lain di Eropa, yaitu Italia, Jerman, dan Negeri Belanda.[10] Yang lebih nyata lagi membiarkan pandangan-pandangan anti-Gereja di antara rakyat murba[11], sehingga sejak itu menguasai dan memberi capnya kepada masyarakat umum. Dari 1792-1794 pemerintah kota Perancis menyerang gereja dengan sekeras-kerasnya.[12] Ada satu lagi perubahan yang lebih penting bagi Gereja Belanda. Pada tahun 1795, revolusi Perancis membanjiri juga negeri Belanda, lalu membongkar masyarakat dan Gereja. Golongan radikal membenci Gereja, karena sikapnya yang tak tahu sabar terhadap orang yang berpikiran lain dan karena segala keuntungan dan hak istimewa yang ada padanya.[13] Juga Perancis menyerbu dan sempat menguasai Belanda. Napoleon Bonaparte mengangkat saudaranya Louis Bonaparte untuk menjadi raja di Belanda dan memberinya mandat penuh untuk mengatur administrasi negara, termasuk Hindia-Belanda.[14]
Satu tahun kemudian (1796) diambil keputusan untuk memisahkan Gereja sama sekali dari negara. Mulai saat itu Gereja kehilangan kedudukan dan kuasanya resmi dalam masyarakat umum. Sukar sekali baginya untuk mengurus organisasinya dan mengatur hidupnya sehari-hari dengan semestinya, sebab sudah sekian lama Gereja bersandar saja pada pimpinan dan sokongan negara.[15] Pada tahun ini juga di negeri Belanda dibentuk ”Bataafse republiek” (nama pemerintah yang menggantikan “State General”). Suatu zaman yang baru dimulai.[16] Bataafse republiek inilah yang membubarkan VOC dan mengambil alih pemerintahan jajahan di Indonesia.[17] Pada tanggal 31 Desember 1799 secara resmi VOC dibubarkan. Sejak waktu itu, Indonesia tidak lagi merupakan milik suatu badan perdagangan, akan tetapi suatu jajahan negara Belanda.[18] Setelah membubarkan VOC[19], mulai tahun 1800 pemerintah Belanda menangani sendiri pemerintahan atas wilayah jajahannya di Nusantara, dan wilayah itu disebutnya Nederlandsch-Indië (Hindia-Belanda, disingkar H-B). ditetapkanlah sistem dan perangkat pemerintahan yang baru, lengkap dengan personilnya. Dengan kata lain, pemerintahan baru di H-B sejak saat itu resmi menjadi bagian dari pemerintahan Belanda. Sebagai kepala pemerintahan di H-B, semula diangkatlah Letnan-Gubernur Jendral.[20]
  Transisi di Indonesia
Kini, sebelum melukiskan perkembangan dalam abad ke-19, kita kembali akan memperhatikan pihak yang bertemu di dalamnya, yaitu orang Indonesia dan orang Eropa. Pada permulaan abad ke-19, keadaan di Indonesia sudah mengalami perubahan yang cukup besar, dibandingkan dengan situasi pada abad-abad sebelumnya. Hal ini pertama-tama berlaku di bidang agama. Pada waktu orang-orang Barat untuk pertama kali datang ke Indonesia, mayoritas orang-orang Indonesia masih menganut  agama suku dan Hindu. Tetapi pada zaman berikutnya agama Islam memperoleh kemajuan besar sekali. Pada tahun 1500, agama itu dianut oleh penduduk Aceh dan Sumatera Timur, dan oleh kerajaan-kerajaan di pantai utara pulau Jawa, selanjutnya juga di Ternate dan lain-lain. Tetapi pada tahun 1800 agama Islam secara garis besarnya sudah menduduki daerah yang sekarang. Agama Hindu hanya dianut lagi di Bali; agama-agama suku masih terdapat di pedalaman Sumatera Utara, Kalimantan dan Sulawesi, dan di sebagian besar kalangan penganutnya mulai menjadi semakin mendalam, berarti bahwa kesempatan untuk mengabarkan Injil di daerah-daerah yang telah masuk Islam itu sudah berlalu. Tetapi pekabaran Injil di daerah-daerah itu akan lain sifat dan hasilnya daripada dalam lingkungan agama suku.[21]
Indonesia telah mengalami banyak perubahan juga di bidang politis. Pada abad ke-16, di kawasan Nusantara terdapat sejumlah negara yang merdeka, dan yang dapat bergaul dengan pendatang dari Barat sebagai yang sama derajatnya. Tetapi pada akhir abad ke-18, kemerdekaan itu sudah sangat berkurang. Sebagian besar pulau Jawa dan sejumlah daerah strategis di pulau-pulau lain sudah menjadi jajahan orang-orang Belanda. Selama abad ke-19, wilayah yang diperintah langsung oleh orang-orang Belanda semakin bertambah terus. Boleh dikatakan bahwa pada tahun 1910-an tidak ada lagi negara di Indonesia yang berhasil mempertahankan kemerdekaannya kecuali secara nominal saja. Keadaan ini tidak diterima begitu saja oleh orang-orang Indonesia. Sejak abad ke-16 sampai akhir zaman penjajahan terus-menerus terjadi perlawanan terhadap kekuasaan orang-orang asing itu. Perlawanan itu adalah paling sengit di daerah Islam, tetapi dilakukan juga di daerah-daerah yang penduduknya agama Kristen atau menganut agama suku. Selama pendudukan Belanda oleh Perancis, mula-mula di bawah Republik, kemudian di bawah pemerintah Napoleon, dari tahun 1795 sampai kalahnya Napoleon pada tahun 1813.[22] Dan oleh karena Belanda ini pada hakekatnya merupakan negara satelit dari Perancis, maka dengan sendirinya Indonesia tersangkut dalam peperangan besar antara Napoleon dan Inggris pada tahun 1811. Akan tetapi sesudah  Napoleon dikalahkan di Eropa, maka Indonesia dkembalikan kepada Belanda pada 1815.[23] Dari tahun 1816-1864 “Hindia Belanda” dikuasai langsung oleh raja tanpa campurtangan dari perwakilan rakyat Belanda; mulai tahun 1864 parlemen Belanda menentukan kebijaksanaan politis di Indonesia sebagaimana juga di Nederland sendiri. Perubahan-perubahan ini juga mempengaruhi hal-ikhwal agama Kristen dan penyiaran.[24]
 Dalam abad ke-19, peristiwa-peristiwa yang paling penting ialah Perang Diponegoro di Jawa Tengah (1825-1830) dan Perang Aceh (1873-1903); tetapi di sana-sini terjadi pertempuran-pertempuran sepanjang abad itu: di Saparua (1817), di Bali (1848-1849), di Kalimantan (1859), di Sumatera Barat (1818-1838), dan di Tapanuli (1878, 1907). Peristiwa-peristiwa ini sedikit atau banyak berpengaruh atas jalannya pekabaran Injil[25].[26]
Masa Peralihan Pemerintahan dan Kekuasaan
      1799-1811
Setelah membubarkan VOC tanggal 31 Desember 1799, mulai tahun 1800 pemerintah Belanda menangani sendiri pemerintahan atas wilayah jajahannya di Nusantara, dan wilayah itu disebutnya Nederlandsch-Indië (Hindia-Belanda, disingkat H-B). Ditetapkanlah sistem dan perangkat pemerintahan yang baru, lengkap dengan personilnya. Dengan kata lain, pemerintahan baru di H-B sejak saat itu resmi menjadi bagian dari pemerintahan Belanda. Sebagai kepala pemerintahan di H-B, semula diangkatlah Letnan-Gubernur Jenderal. Yang pertama adalah Pieter van Overstraten, lalu kemudian digantikan oleh Johannes Siberg (1801-1805) dan Albertus Hendricus Wiese (1805-1808). Pada tahun 1808 Raja Lodewijk Bonaporte menempatkan Herman Willem Daendels[27] sebagai Gubernur Jenderal di H-B. ia ditugaskan mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris yang saat itu tengah berperang dengan Perancis. Juga penempatannya Herma Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda mencanangkan program penghormatan kepada program atas hak hidup semua agama di Hindia Belanda. Kebijakan ini antara lain membuat umat Katolik berpeluang untuk berkembang secara bebas.[28] Berbeda dengan sikap pemerintahan VOC, maka pemerintah kolonial Belanda tidak lagi melihat dirinya sebagai “penguasa Kristen”. Terhadap segala persoalan keagamaan ia bersifat netral, dengan mengikuti dasar kebebasan agama yang telah diproklamasikan oleh Deandels pada tahun 1808. Sikap netral pemerintah ini sangat menguntungkan semua pihak, juga pihak Islam.[29]
Di dalam menjalankan tugasnya ini, Daendels berlaku sangat keras dan berdisiplin, baik terhadap kalangan pribumi maupun para pejabat H-B, sehingga ia banyak dibenci. Ia berupaya keras memberantas praktik korupsi di lingkungan personil asal Eropa dan ini justru semakin menambah jumlah musuhnya. Sementara itu musuh-musuhnya berbalik memfitnahnya telah melakukan korupsi, dan ini dipercaya oleh raja Belanda, sehingga Deandels kemudian dipanggil pulang dan digantikan oleh Jan Willem Janssens, Mei 1811. Penggantian ini ternyata tidak menguntungkan Belanda. Pada tanggal 18 September 1811 Janssens menyerah kepada Inggris melalui kapitulasi Tuntang[30] (di dekat Salatiga). Pemerintahan pun bergeser kepada Inggris, dan ini menandai keberhasilan Inggris menguasai Nusantara, yang sudah mulai ia coba sejak abad ke-18.[31]
      1811-1816
Lord Minto sebagai wakil pemerintah Inggris di India menempatkan Thomas Raffles sebagai Letnan Gubernur di wilayah yang sebelumnya dikuasai Belanda. Pemerintahannya tidak berlangsung lama karena, berdasarkan perjanjian di London (13 Augustus 1814), H-B secara bertahap harus diserahkan kembali kepada pemerintah Belanda (tahun 1816 untuk semua wilayah selain Sumatera).[32] Berdasarkan persetujuan di London tahun 1814 maka pada tahun 1815 Indonesia dikembalikan ketangan Belanda. Raja Belanda pada saat itu ialah Willem I, dan ia pun memperoleh hak kedaulatan atas daerah-daerah jajahan. Hanya dia saja yang boleh menentukan, apa yang baik dan perlu menurut kebijaksanaannya.[33]
Kendati masa pemerintahan Inggris/ Raffles di Indonesia sangat singkat, tetapi dalam hal keagamaan Raffles juga patut dicatat sebagai penerus semangat Pencerahan di Indonesia. Menurut Ricklefs “Raffles adalah seorang pembaharu dan penentang feodalisme sebagaimana Daendels.” Sebagai seorang humanis dan semangat pencerahan, Raffles mendorong bahkan ikut memprakarsai – upaya memajukan kebudayaan dan peradaban di Indonesia, termasuk melalui pendidikan yang diselenggarakan lembaga-lembaga Kristen. Kalangan-kalangan agama – terutama Kristen – yang berkecimpung di bidang ini diberinya dukungan. Karena itu beberapa badan Zending[34] yang bergiat di bidang itu diberinya fasilitas. Hal itu bukan terutama karena ia hendak mendukung penyiaran agama, melainkan karena kegiatan itu dipandang Raffles memajukan kehidupan masyarakat.[35] Raffles, gubernur jenderal di zaman Inggris yang singkat itu dapat meneruskan pekerjaan atas dasar yang baru yang telah dimulai oleh Daendels. Atas anjurannya maka kebebasan agama yang baru diperoleh itu memungkinkan pekabar-pekabar Injil yang pertama untuk masuk ke negeri ini.[36] Badan-badan Pengkabaran Injil (PI) yang ada di Belanda kemudian mengutus orang mereka melalui badan PI di Inggris (London Missionary Society).[37] Raja Belanda, Willem I, bertekad menghapuskan pertikaian antar gereja-gereja dengan menyatukan semua aliran Protestan di Indonesia. Dengan Keputusan Raja Belanda tanggal 5 September 1815 gereja di Indonesia ditempatkan di bawah urusan kementerian perdagangan dan jajahan (Departement van Koophandel en Koloniën).[38] Setelah orang-orang Inggris mengembalikan jajahan-jajahan di Indonesia kepada Nederland (1816), barulah keadaan di bidang gereja diatur secara baru. Hal itu dilakukan oleh raja yang baru, Willem I.[39]
 Kekristenan Pada Masa Hindia-Belanda Abad XIX Sampai Dengan Pertengahan Abad XX
Sekitar tahun 1800, keadaan gereja di Indonesia menyedihkan. Tetapi, abad ke-19 betul-betul menjadi “abad pekabaran Injil”.[40] Pembinaan gereja di Indonesia sejak abad ke-19 dilakukan oleh pihak pemerintah Belanda dan oleh badan-badan pekabaran Injil. Kekristenan Protestan di Indonesia pada zaman VOC lebih merupakan gereja yang diistimewakan Negara dan “jemaat jauh” dari Gereja Belanda yang berasas Calvinis. Setelah keruntuhan VOC dan setelah seluruh kekuasaannya di Indonesia diserahkan kepada pemerintah Belanda (termasuk kekuasaan atas gereja) pemerintah menata ulang organisasi gereja di Indonesia. Dengan demikian antara gereja dengan negara terciptalah hubungan yang sama eratnya seperti pada zaman VOC. Tetapi kerugiannya sama juga. Sama seperti pada zaman VOC, kegiatan gereja keluar dilumpuhkan. Dan dalam melaksanakan tugasnya pelayan-pelayan gereja itu bertindak sebagai pegawai-pegawai negara. kehidupan gereja menderita kerugian, karena: (a) gereja tetap dikuasai negara sedemikian rupa, hingga tidak mungkin ia berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan kepentingan negara (misalnya mengabarkan Injil di daerah di mana hal itu bisa menimbulkan kekacauan); (b) anggota-anggota jemaat tidak sempat belajar bahwa gereja merupakan urusan mereka sendiri, bahwa mereka misalnya bertanggung jawab atas jalannya kehidupan gerejawi dalam hal keuangan; (c) semua pelayan gereja berstatus pejabat negara. pemerintah tidak mau memihak lagi kepada gereja atau agama mana pun. Jadi, negara tidak mau melakukan pekabaran Injil. Gereja selalu terikat pada negara, dan tidak cukup bersemangat untuk melakukannya. Hal itu harus dilakukan oleh orang-orang Kristen pribadi.[41]
Sejak akhir abad ke-18, keberadaan Katolik pada umumnya belum cukup terlihat dan hanya berada sebatas NTT saja. VOC sangat membatasi ruang gerak utusan Katolik ke beberapa daerah yang lain. Sehingga, sebuah terbitan Katolik modern pernah melabeli era kekuasaan VOC sebagai “Masa Kegelapan”. Tetapi, sejak VOC mengalami kemunduran (karena terbelit skandal korupsi) dan akhirnya dibubarkan, kekuasaan mereka pun beralih ke tangan Pemerintah Hindia-Belanda di Indonesia. Kalangan Katolik ternyata menyambut perubahan tersebut dengan penuh sukacita. Penyebabnya ialah, pada tahu 1800 Pemerintah H-B mengakui prinsip “Kebebasan dalam Hal Beragama”. Surat keputusan Gubernur Jenderal H.W. Daendels menyatakan “semua golongan bebas untuk mengamalkan agamanya…” Politik hukum yang baru tersebut tampaknya mencerminkan spirit “kebebasan” yang diembuskan oleh Revolusi Perancis (tahun 1789). Spirit kebebasan itu akhirnya menyebar luas ke seluruh wilayah Eropa. Seiring perkembangan baru tersebut, umat Katolik telah mendapatkan sebuah peluang emas untuk menemukan tempat bepijak berikutnya di Pulau Jawa. Perkembangan pesat Katolik justru terjadi di sana. Menurut buku Operation World karya Patrick J. Johnstone (di halaman 235), jumlah penganut Katolik di Pulau Jawa (1,5 persen dari populasi penduduk) telah mendekati jumlah penganut Protestan (mencapai 2,1 persen).[42]
Setelah keruntuhan VOC dan setelah seluruh kekuasannya di Indonesia diserahkan kepada pemerintah Belanda (termasuk kekuasaan atas gereja) pemerintah menata ulang organisasi gereja di Indonesia. Sesuai kecenderungan paa penguasa di Eropa masa itu, raja Belanda, Willem I, bertekad menghapuskan pertikaian antar gereja-gereja dengan menyatukan semua aliran Protestan di Indonesia. [43] Pada tahun 1807 pemerintah menyatakan bahwa untuk selanjutnya di daerah-daerah jajahan akan berlaku kebebasan beragama. Untuk seterusnya negara akan bersikap netral di bidang agama. Tidak akan ada lagi gereja-negara, bahkan negara tidak akan memihak kepada agama Kristen lagi.[44] Dengan Keputusan Raja Belanda tanggal 5 September 1815 gereja di Indonesia ditempatkan di bawah urusan kementerian perdagangan dan jajahan (Departement van Koophandel en Koloniën) dan ditunjuk komisi yang dikenal dengan nama Haagsche Commissie untuk mengurus kepentingan gereja itu, dalam hal ini memberi nasihat kepada pemerintah mengenai gereja di Indonesia dan menguji serta menahbis calon-calon pendeta yang diangkat oleh raja untuk gereja itu. Selanjutnya ditetapkan kesatuan pengurus seluruh gereja Protestan di tanah jajahan (Protestantsche Kerken in Nederlandsch Oost- en West-Indië) pada tahun 1820.[45]
Perkembangan gereja dan agama Kristen di H-B pada masa ini berlangsung pesat, terutama di luar Jawa. Di satu sisi hal itu didorong oleh semangat kebebasan beragama yang dicanangkan Deandels yang kemudian dilanjutkan Raffles. Di sisi lain hal itu merupakan buah dari kebangunan semangat penginjilan yang terjadi di Eropa (disusul Amerikan) sejak akhir abad ke-18, yang mendorong banyak orang mengabarkan Injil dan membentuk badan-badan pekabaran Injil (zending Protestan dan misi Katolik), yang sebagian besar bersifat independen, artinya tidak punya ikatan resmi dengan gereja tertentu. Cukup banyak dari badan-badan zending itu yang datang dan berkarya di H-B sejak awal abad ke-19. Selain dari Belanda ada pula yang datang dari Inggris, Jerman, Swiss, dan Amerika. Mereka berhasil membangkitkan minat dan semangat sejumlah orang, terutama dari kaum muda, untuk menjadi penginjil (zending, misionaris), menabur benih Injil dan membentuk komunitas Kristen di berbagai pelosok dunia, termasuk di Hindia-Belanda.[46] Berbeda dengan sikap VOC, maka pemerintah kolonial Belanda tidak lagi melihat dirinya sebagai penguasa Kristen. Terhadap segala persoalan agama ia bersikap netral, dengan mengikuti dasar kebebasan agama yang telah diproklamasikan oleh Deandels di tahun 1808. Sebagai pewaris sah VOC, pemerintah merasa berkewajiban untuk memelihara gereja yang dilahirkan dari zaman VOC itu. Demikianlah maka Gereja VOC masa lalu itu diorganisir kembali pada tahun 1817 menjadi “Gereja Protestan di H-B”.[47]
Dalam kegiatan oleh pekabaran Injil oleh badan-badan zending itu, yang menyebar di berbagai wilaya H-B ini ada tiga pertimbangan umum yang mereka pedomani:
1.      Kepadatan penduduk. Dalam sejumlah kasus beberapa badan zending lebih suka memilih daerah yang penduduknya lebih padat. Tetapi sehubungan dengan pertimbangan ketiga di bawah, daerah-daerah berpenduduk jarang pun kemudian dimasuki juga
2.      Dekatnya suatu daerah yang akan dijadikan medan pekabaran Injil dengan lokasi aparat pemerintahan H-B, baik di pusat (Batavis) maupun di daerah. Hal ini sedikir banyak akan memberi jaminan dan harapan bagi terciptanya ketenangan dan ketertiban, sesuai dengan salah satu slogan pemerintah kolonial: Rust en orde.
3.      Tempat pekabaran Injil dimana belum masuknya Islam atau paling tidak belum berpengaruhnya Islam di daerah itu. Itulah sebabnya lembaga-lembaga pekabaran Injil umumnya bekerja di daerah-daerah yang penduduknya sebagian besar masih beragama suku, seperti Minahasa, Kalimantan, Timor dan sekitarnya, tanah Batak, Halmahera, dan Irian (Papua). Alasannya bukan karena saja orang-orang yang beragama suku lebih mudah menerima, tetapi juga karena badan-badan zending itu harus mentaati seperangkat peraturan atau pembatasan, antara lain pemerintah H-B tahun 1818 dan 1854, yang selain menjamin kebebasan beragama juga mengamanatkan kepada lembaga-lembaga penyiaran agama agar meminta izin kepada pemerintah sebelum bekerja di suatu daerah. Dengan kata lain, pemerintah tidak mengijinkan zending bekerja di daerah yang penduduknya sudah Islam, justru untuk menjaga Rust en orde.[48]
Jumlah orang-orang Kristen berkebangsaan Indonesia bertambah besar karena usaha zending di Minahasa membawa hasil baik. Di luar Minahasa, tidak dapat dicatat hasil-hasil yang serupa. Di Maluku dan di Timor, jangankan memperluas pekerjaan, mempertahankan jemaat-jemaat yang ada pun sudah sulit. Di Kalimantan Selatan hanya beberapa ratus orang yang beralih kepada agama Kristen; di Jawa Timur dan Tengah ada lebih banyak, tetapi itu merupakan hasil suatu gerakan di kalangan orang-orang Jawa sendiri. Di beberapa daerah lain, yang dibuka dalam bertahun-tahun 1850-an (Irian, Angkola-Mandailing, Sulawesi Selatan) belum atau hampir belum ada orang-orang masuk Kristen. Dengan demikian, sekitar tahun 1860-an, jumlah orang-orang Kristen Protestan di Indonesia adalah sekitar 100.000 – 120.000 orang. Ibadah jemaat pun tetap mengikuti pola Barat, sama seperti pada zaman Portugis dan VOC. Namun demikian, dalam beberapa hal sudah terjadi perubahan. Berkat perubahan itu maka anggota jemaat dapat ikut-serta dalam kebaktian dengan memahami maknanya secara lebih mendalam. Pertama-tama, karena bahasa. Para zendeling sedapat mungkin menggunakan daerah, sebagai ganti atau di samping bahasa Melayu, mereka memakai bahasa Melayu yang sederhana. Alkitab mulai diterjemahkan dengan kebutuhan daerah yang diduduki oleh pekabaran Injil. Pada masa 1800-1860, kita belum mendengar mengenai usaha-usaha untuk menggunakan lagu-lagu pribumi. Bahasa khotbah disesuaikan dengan daya tangkap para pendengar, dan isinya diikhtiarkan agar sampai kepada otak maupun kepada hati mereka. Dalam semua hal itu, ciri pedagogis (mendidik) yang kuat dalam Pietisme, menyatakan diri. Yang memimpin ibadah ini ialah para zendeling (di pusat resornya) atau para guru sekolah/ jemaat (di tempat lain). Sudah tentu hanya para zendeling-lah yang boleh memimpin kebaktian perayaan sakramen.[49]
Dalam hal organisasi gereja juga, orang-orang Indonesia kurang diberi kesempatan untuk memainkan peranan. Salah satu wadah bagi kegiatan mereka di jemaat ialah majelis gereja. Tetapi para zendeling dalam parohan pertama abad ke-19 jarang membentuk majelis. Hanya para guru serta penolonglah yang dipandang sebagai tokoh-tokoh pemimpin pribumi. Tetapi mereka berada di bawah zendeling, dalam suasana hirarki yang ketat. Mereka tidak juga diperlengkapi pendidikan yang memungkinkan mereka berfikir sendiri mengenai hal-hal gerejani. Akibatnya, mereka biasanya hanya berfungsi sebagai penyambung lidah sang zendeling. Demikian juga halnya dengan orang-orang Kristen. Sama seperti pada zaman VOC, begitu pula pada para guru memerlukan pengawasan-pengawasan terus-menerus, bahwa kehidupan jemaat merosot dengan cepat begitu sang zendeling tidak ada lagi di tengah kawanannya. Dalam hubungan ini kita mungkin dapat menyebutkan pula suatu gejala yang lebih gawat lagi. Gejala ini menyatakan diri apabila wibawa zendeling berkurang, misalnya bila pemerintah mencopot wewenangnya untuk menjadi penilik sekolah (Maluku tahun 1842).[50]
Kehidupan iman orang Kristen diperhadapkan dengan keadaan yang sepertinya tidak terelakkan. Tidak pernah di dalam sejarah gereja terdapat agama Kristen yang sama sekali bebas dari pengaruh unsur-unsur luar. Namun demikian, keadaan seperti yang digambarkan tadi tidak bisa dilihat lepas dari sikap para zendeling terhadap agama dan kebudayaan suku. Bahwa agama suku dapat hidup terus di luar lingkungan iman Kristen itu tidaklah lepas dari sikap para zendeling yang menolak agama dan kebudayaan suku. Mereka memandangnya sebagai “penyembahan iblis/ berhala”, dan mereka ingin melepaskan orang dari tata-cara yang meliputi seluruh kehidupan mereka itu. Di dalam penghayatan iman Kristen sendiri pun masih terasa pengaruh agama yang lama. Hal ini pun dapat dihubungkan dengan sikap para zendeling terhadapnya. Namun demikian, kita telah melihat bahwa dalam satu hal usaha zending memang melampaui usaha pada zaman VOC: mereka sungguh-sungguh berusaha untuk membangkitkan dalam hati orang suatu rasa kasih yang hangat kepada Yesus Kristus. Dengan demikian mereka secara azasi mendobrak pola perintah-larangan. Dan mereka juga menanamkan Firman di tengah-tengah jemaat dengan menyajikan Alkitab dalam bahasa yang bisa dimengerti. Dengan kedua hal itu, para zendeling telah “mengadukkan ragi ke dalam tepung terigu”, yaitu ke dalam masyarakat orang-orang Kristen, dan lama-lama ragi itu tak bisa tidak mempengaruhi masyarakat tersebut “sampai khamir”, sehingga jemaat bisa mempertahankan diri walaupun zendeling pergi.[51]
Sekarang kita menilai hasil-hasil pekerjaan zending abad ke-19 sambil membandingkannya dengan hasil yang diperoleh VOC sebelumnya. Dalam beberapa hal, sikap para zendeling yang memandang remeh gereja dari zaman VOC itu, tidak dapat dibenarkan. Jemaat-jemaat hasil usaha mereka menghadapi persoalan-persoalan yang sama, akibat kekurangan-kekurangan yang sama dari pihak pemimpin-pemimpin mereka. Namun demikian, tercatat juga kemajuan. Untuk pertama kali terdapat jemaat-jemaat di luar wilayah yang secara langsung dikuasai pemerintah Hindia-Beland; baru sekarang juga terdapat jemaat-jemaat orang-orang Jawa. Untuk pertama kali terdapat tenaga pribumi di atas tingkat guru jemaat/ sekolah. Dan terutama: sekarang lebih daripada dahulu, ragi Injil dimasukkan ke dalam masyarakat Kristen dan di sana sini juga dalam masyarakat non-Kristen. Periode 1800-1860 ini merupakan babak permulaan suatu zaman baru, yakni babak Zending Baru mengikat pinggang dan mulai bekerja. Dalam babak berikutnya (± 1860-1930), kegiatan zending akan berkembang terus, baik dari sudut jumlah tenaga maupun dari sudut metode kerjanya.[52]
 Badan-badan Pekabaran Injil/ Zending Pada Masa Pemerintahan Hindia-Belanda
      Nederlandsche Zendeling Genootchap (NZG)
Lembaga ini didirikan pada  19 November 1797[53] didirikan di Rotterdam. Badan ini bekerja di tempat-tempat yang terbesar di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pengaruhnya perlu diperhitungkan. NZG tidak bertujuan menanam dan membentuk gereja dalam pekabaran Injil, tetapi NZG lebih menekankan  menanam agama Kristen yang benar dan aktif dalam hati manusia, tanpa penambahan pikiran-pikiran manusiawi. Dengan kata lain, mereka tidak mengajarkan perbedaan-perbedaan pikiran tentang kebenaran iman, tetapi mereka menanamkan agama Kristen yang sejati di dalam hati manusia. Anggota-anggota NZG berasal dari bermacam-macam denominasi, tidak terpengaruh oleh ajaran-ajaran yang berbeda. Sebab mereka telah dipersatukan oleh tujuan yang sama, yaitu pekabaran Injil kepada orang kafir.[54] Selama tahun-tahun pertama pertama, NZG mengutus sejumlah pekabar Injil ke Afrika Selatan dan India, tetapi sejak tahun 1839 lembaga itu hanya melayani lapangan PI di Indonesia. Daerah kerjanya di sana ialah Maluku (sampai tahun 1864), Minahasa, Timor dan Jawa Timur (1830-an sampai 1860-an), Tanah Karo di Sumatera Utara (1890), Sulawesi Tengah (“Poso”, 1892), dan Bolaang Mongondow (1904). Pada tahun 1851-1864 terdapat utusan-utusan NZG di Sulawesi Selatan, dan 1870-1900 di Sawu. Utusan NZG yang selama periode 1813-1894 berangkat ke Indonesia berjumlah 95 orang. Dalam 1850-an, di antara anggota Pengurus ada yang ikut beralih ke golongan “moder”. Akibatnya, sebagian kaum tradisional dan kaum “etis” meninggalkan NZG dan mendirikan lembaga-lembaga baru : NZV (1858), UZV (1859), dan NGZV (1859).[55]
      Doopsgezinde Zendings-Vereeniging (DZV)
DZV yakni persekutuan perkabaran Injil Menonik yang didirikan pada tanggal 21 Oktober 1847 pada mulanya mereka mendukung NZG tetapi kemudian timbul keinginan melaksanakan sendiri pekerjaan PI yang benar-benar sesuai azas keyakinan Menonit.[56] Golongan Menonit termasuk golongan Anabaptis, yang menolak baptisan anak. Pada abad ke-17 dan ke-18, Menonit menjadi golongan yang kuat dan berpengaruh di Belanda. Dan karena itu mereka mendirikan sebuah lembaga pekabaran Injil yang bernama DZV.[57] Pada tahun 1851 utusan DZV yang pertama berangkat. Selama masa 1851-1900 DZV mengutus 12 orang ke dua medan zending, yaitu Jawa Tengah bagian timur laut dan Angkola-Mandailing (Sumatera).[58]                   Christen Werkman (Penginjil Tukang)
Dua tokoh pencetus dan penggerak PI tukang ini adalah Gossner dari Jerman dan Heldin dari Belanda. Gossner menentang penggunaan akal yang berlebihan, ia mengakui bahwa tugas mengabarkan Injil adalah tugas gereja dan bukan individu, tetapi kepercayaannya terhadap gereja telah hilang, ia lebih senang terhadap kelompok kecil yang hidup menyakinkan. Dari pekabar-pekabar Injil diharapkan tidak kawin, orang-orang yang mempunyai pacar tidak diterima dalam tugas ini. Dari pekabar-pekabar Injil juga diharapkan mereka dapat mengusahakan hidup sendiri dengan bekerja sebagai tukang. Sebab mereka dipersiapkan dengan keterampilan-keterampilan tukang petani dan lain-lain. Misalnya keterampilan membuat kereta, membuat sepatu, tetapi tidak ada gunanya karena di daerah PI tidak ada kereta, tidak ada binatang penarik. Orang-orang pribumi tidak menggunakan sepatu. Itulah sebabnya mereka sulit membiayai hidup.[59] Didirikan tahun 1847, pembentukan badan ini dikarenakan bahwa Injil tidak hanya dikabarkan oleh beberapa orang yang secara khusus dididik selaku penginjil tetapi juga dapat dilakukan orang-orang yang benar-benar yang secara Kristen, orang-orang berbagai keahlian seperti tukang, ahli dagang, dan sebagainya. Tujuan badan ini mengutus tukang-tukang Kristen yang akan membantu misionaris yang dengan sendiri akan mengusahakan kebutuhan hidup dengan keahlian masing-masing.[60]
      Nederlandsche Zendings Vereeniging (NZV)
Badan ini lahir tahun 1858, yang lahir dari golongan ortodoks, anggaran dasar itu antara lain berbunyi: yang dapat menjadi anggota NZV hanyalah mereka yang mengaku bahwa Yesus Kristus adalah juruselamat mereka, dan menyatakan bahwa mereka tidak akan bekerja sama dengan orang-orang yang menyangkal keilahian Kristus.[61] Pada tahun 1863, NZV mulai menyelenggarakan Pidi tengah penduduk Sunda dan Tionghoa di Jawa Barat, sejak tahun 1915 juga di Sulawesi Tenggara. Jumlah para utusannya selama tahun 1863-1940 ialah ± 90 orang, yang sebagian besar bekerja di Jawa Barat, sejak tahun 1917 juga di Sulawesi Tenggara.[62]
      Utrechtsche Zendings Vereeniging (UZV)
Didirikan pada tanggal 13 Juli 1859, golongan ini terdiri dari mereka yang menentang aliran raionalistis. Badan ini dibentuk oleh sekelompok orang yang tidak setuju dengan gologan modern. Mereka lebih dekat dengan golongan ortodoks tetapi sedikir lebih fleksibel. Mereka juga lebih terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut NZV kebenaran harus dinyatakan dalam seluruh perbuatan dan kepribadian.[63] Seperti NZV, UZV juga menekankan pada mulanya bahwa spontanitas jauh lebih penting dari ilmu pengetahuan dan persiapan yang matang. Itulah sebabnya calon PI hanya dididik selama 3 tahun. Bagi mereka calon pekabar Injil juga harus memenuhi syarat dewasa dan matang dalam iman. Itulah sebabnya UZV pada mulanya hanya mengutus PI yang berusia antara 25 sampai 30 tahun. Rupanya mereka beranggapan kesadaran tentang panggilan ilahi dan kemantapan iman belum mungkin ditemukan di dalam diri seorang anak belasan tahun.[64] Medan kerjanya terdapat di Irian Barat (1863), di Halmahera (1866), Bali (1866-1878), Buru (mulai tahun 1885), dan Sulawesi Selatan (1895-1905). Selama 80 tahun (1860-1940) UZV mengutus ± 85 pekerja.[65]
      De Zending der Gereformmeerde Kerken (Pekabaran Injil di Gereja-gereja Gerereformeerd di Belanda)[66]
Didirikan pada tanggal 6 Mei 1859, juga merupakan badan yang memisahkan diri dari NZG. Daerah yang diinjili adalah Jawa Tengah dan Sumba. Pada mulanya badan-badan ini tidak terikat dengan Gereja Gereformeerd, tetapi dalam perkembangan di kemudian hari, NGZV merupakan salah satu badan PI gereja-gereja Gereformeerd.
      Gereformerde Zendingsbon (GZB)
Corak kerohanian GZB berwarna pietis.[67] Dibentuk tahun 1901 oleh golongan dalam NGZV yang merasa bahwa semangat missioner telah berkurang oleh NGZV dengan diintegrasikannya NGZV ke dalam gereja-gereja Gereformeerd.[68] Tetapi GZB tidak mau masuk dalam zending gereja-gereja Gereformeed. Apabila diteliti badan-badan PI dengan nama gereformeed jelas kelihatan warna Pietisme dari ajaran Calvinis abad-16 dan abad-17. Sebenarnya antara Pietisme dan Ortodoksi Calvinis ada hubungan erat. Karena sikap saleh Ortodoksi Calvinis juga ditemukan di dalam Pietisme. Dimana berdasarkan predestinasi, penganut Ortodoksi Calvinis mau menunjukkan kepada dunia bahwa mereka benar-benar telah dipilih Allah sejak awal untuk diselamatkan. Dan kesalehan ialah salah satu bukti tentang pemilihan itu.[69] GZB mulai bekerja di Indonesia pada tahun 1913 di daerah Kerajaan Luwu, yaitu di Tana Toraja dan Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan sekarang ini. Hasil pekerjaannya adalah lahirnya Gereja Toraja (GT).[70]
      Rheinische Missiongessellschaft (RMG)
Badan misi ini terbentuk pada tanggal 23 September 1828. Berbeda dengan badan-badan PI yang ada di Belanda, maka RMG ini mengandung unsur Luther. Badan ini menerima semua tenaga-tenaga persekutuan dari Jerman. Daerah kerja mereka di Indonesia ialah Kalimantan, Tapanuli (Sumatera Utara, Nias, Mentawai dan Enggano).[71] Badan ini kurang berminat terhadap penanaman dan pembentukan gereja. Badan ini juga menekankan pertobatan dan hubungan orang percaya dengan Kristus. Semua ini menimbulkan gambaran tentang RMG bahwa badan ini dipengaruhi Pietisme.[72]
      Evangelische Missiongesselschaft zu Basel (Basel Mission)
Berdiri pada tanggal 25 Desember 1815 di Basel-Switzerland. Pada mulanya badan ini hanya bermaksud mendidik para pekabar Injil, dan kemudian menyalurkan tenaga tersebut melalui badan-badan PI yang ada seperti, NZG. Dalam perkembangan kemudian menetapkan untuk secara langsung mengerjakan sendiri pekerjaan PI ini yang diputuskan di tahun 1836. Walaupun badan ini tumbuh dan dipelihara di kota Basel, namun ia tidak terikat pada salah satu gereja di sana.[73]
  CAMA (The Christian and Missionary Alliance)
Didirikan di Amerika Serikat tahun 1897, selaku penggabungan dari “The International Missionary Alliance” yang didirikan tahun 1889 dengan “Christian Alliance” yang didirikan tahun 1890. Badan ini terdiri dari orang-orang yang merasa terpanggil untuk menyebarkan Injil di mana-mana dan sesegera mungkin di antara bangsa-bangsa dan suku-suku yang belum pernah mendengar Injil Kristus. Mereka secara ketat berpegang pada otoritas mutlak Alkitab dan keyakinan akan ketidakmungkinan salah dari Alkitab. Daerah kerja di Indonesia: mulai tahun 1929 di Ujung Pandang, kemudian bekerja juga di Kalimantan Timur dan Kalimantan Batat, Nusa Tenggara Timur (NTT), di kalangan Cina di Bali dan di Irian Jaya.[74]
Tokoh-tokoh yang Mempengaruhi Kekristenan
Tokoh-tokoh Zending Kekristenan di Indonesia Pada Masa Hindia-Belanda
 C.L. Coolen (1775-1873) dan Johannes Emde
Coolen adalah seorang peranakan Rusia-Belanda dan Jawa. Dari ibunya, seorang puteri bangsawan Jawa, ia mewarisi kebudayaan Jawa yang sedikit banyak sudah bercampur dengan Islam. Pada tahun 1827 ia membuka kawasan hutan yang luas di Ngoro, sekitar 60 km dari Surabaya, yang kemudian berkembang  desa yang makmur. Di Ngoro, sebagai pemimpin desa, Coolen mempraktikkan kekristenannya sambil tetap menghormati warga desanya yang Muslim (misalnya mengizinkan mereka membangun mesjid). Dengan kata lain, ia tidak mengharuskan seorang Muslim yang hendak menyewa tanahnya atau bergabung dalam komunitas Ngoro untuk menjadi Kristen. Dalam ritual Kristen yang ia laksanakan, ia menyerap unsur-unsur tertentu dari Islam maupun dari budaya atau kepercayaan asli Jawa. Pendek kata, Coolen memberi tempat bagi nilai-nilai budaya dan religiositas Jawa yang sudah bercampur dengan Islam dalam kekristenan yang ia kembangkan di Ngoro.[75]
Johannes Emde di Surabaya sangat berbeda dengan kekristenan yang dikembangkan oleh Coolen. Emde, seorang Jerman yang berlatar belakang Pietisme yang kuat, walaupun menghormati masyarakat Jawa dan menikah dengan seorang gadis Jawa dari kalangan keraton Solo, justru berusaha menjauhkan orang-orang yang diinjili dan dibinanya dari budaya Jawa maupun dari pengaruh agama Islam.[76]
 Joseph Kam (1814-1870)
Joseph Kam adalah seorang pengkabar Injil yang memberikan darah segar kepada tubuh jemaat-jemaat di Maluku yang ditinggalkan terlantar sesudah bubarnya VOC di Indonesia pada tahun 1799. Oleh jemaat-jemaat di Maluku, Kam diberi gelar “Rasul Maluku”. Kam dilahirkan September 1769. Ayahnya bernama Jost Kam. Seorang tukang pangkas rambut, pembuat rambut palsu dan pedagang kulit di s’Hertogenbosch, Belanda. Kakeknya berasal dari Swiss, bernama Peter Kam. Ia datang ke Belanda sebagai tentara sewaan dan di Belanda menikah dengan seorang gadis Belanda.  Pada tahun 1802 ayah dan ibunya meninggal. Usaha perdagangan kulit merosot dan pada akhirnya kegiatannya dihentikan. Joseph mencari pekerjaan lain, yaitu menjadi pesuruh pada Mahkamah Nasional. Pada tahun 1804, Joseph menikah, namun istrinya meninggal sewaktu melahirkan anak yang pertama. Sang anak meninggal pula beberapa bulan kemudian. Sekarang tekadnya untuk menjadi pekabar Injil sudah bulat. Ia melamar kepada NZG pada tahun 1807. Ia mempersiapkan diri untuk menjadi pekabar Injil di Denhaag dan Rotterdam pada beberapa orang pendeta. NZG belum memiliki sekolah pekabar Injil sendiri. Pada tahun 1811, pendidikannya dianggap selesai, maka NZG meminta kepada kelompok Hernnhut di Zeist supaya sementara waktu memakai tenaga Kam. Di sinilah Kam mendapat latihan yang sangat berguna bagi pekerjaannya kelak di Maluku. Pada tahun 1813, Kam ditahbiskan menjadi pendeta di London. Pada tahun 1814, Kam menuju Maluku dalam umur 33 tahun bersama-sama dengan Brcükner dan Supper. Sambil menunggu kapal ke Maluku, Kam bekerja sementara dalam Gereja Protestan di Surabaya. Di sini ia membentuk satu kelompok kecil: orang-orang Saleh Surabaya. Kelompok ini sangat giat dalam pekerjaan pemberitaan Injil. Pada tahun 1815 Kam meninggalkan Surabaya menuju Ambon. Pada bulan Maret 1815 Kam tiba di Maluku.[77]
Pada tahun Agustus 1817 sampai Februari 1818 ia melakukan perjalanan ke Ternate, Minahasa, dan Sangir. Di Minahasa, pada zaman itu hanya ada beberapa ribu orang Kristen saja yang merupakan warisan dari Zaman VOC. Tetapi Kam sangat meninjau sampai ke pedalaman, ia melihat bahwa disitu ada lapangan kerja yang luas.[78] Pada tahun 1819, ia membuka suatu sekolah pendidikan guru, agar dapat memperkerjakan guru-guru yang baik untuk melayani sekolah dan jemaat di Maluku. Tujuan utamanya ialah untuk mengajar atau menegur jemaat-jemaat mengajak dan memberi hati kepada guru-guru. Pekerjaan Kam bagi gereja di Maluku, bahkan seluruh Indonesia Timur, tidaklah ternilai artinya. Sudah jelas bahwa tidak mungkin dalam waktu 18 tahun ia mempengaruhi Gereja secara keseluruhan. Pekerjaan Kam mempengaruhi juga sejarah Gereja di luar Maluku. Dialah yang pertama-pertama mengunjungi jemaat di Minahasa sesudah zaman Kompeni. Dan mendirikan Gereja di Minahasa. Dan kemudian hari, gereja Maluku yang dibaharui melalui pekerjaan Kam itu akan menghasilkan ratusan orang guru dan guru Injil untuk pengkabaran Injil di Sulawesi, Irian, dan lain-lain. Berhubungan beratnya pekerjaan, maka Kam meminta tenaga pekabar injil dari NZG, sehingga berdatangan tenaga-tenaga baru dan Ambon menjadi pusat untuk Indonesia Timur. Kam terus saja mengadakan pekerjaan keliling mengunjungi Jemaat-jemaat sampai ia meninggal. Kam menderita sakit parah dalam perjalanannya menuju Maluku Tenggara, sehingga ia terpaksa kembali ke Ambon. Segala usaha untuk menyelamatkan nyawanya tidak berhasil. Joseph Kam meninggal pada tanggal 18 Juli 1833 setelah berjerih payah selama 20 tahun di Maluku.[79]
 John Friedrich Riedel (1831-1880)[80]
Ia adalah seorang penginjil dari Jerman yang disponsori oleh NZG yang beraliran Pietis. Tidak seperti Kam dan kebanyakan utusan Belanda lainnya. Tugas Riedel bukanlah sebagai penguatan khusus kepada Gereja yang sudah, sebagaimana Misi Kam di Ambon. Ia justru ditugaskan untuk menjangkau penganut agama-agama suku asli Minahasa. Ia memulai pelayanan di Tondano dengan tanpa menyertakan bantuan tenaga orang-orang Kristen Minahasa, Ia tidak meneruskan kebiasaan pendeta-pendeta bangsa Belanda, yang sering mengecap praktik tradisi dan adat istiadat para penganut agama-agama suku asli. Ia mengajak mereka berdiskusi hangat tentang Agama Kristen. Bahasa Tondano justru di pergunakan dalam berdiskusi dalam persekutuan tetapi liturgi gereja masih menggunakan bahasa Melayu. Sesudah 8 tahun bekerja, gereja rintisan beliau telah memiliki 800 orang jemaat. Sekitar tahun 1850, sekitar 70% warga Tondano telah menerima babtisan. Namun pelbagai upaya penginjilan yang luas dan harus berkelanjutan niscaya memerlukan juga dukungan dana yang memadai. Ternyata pihak NZG tidak dapat melanjutkan dukungan keuangan mereka untuk pelayanan Riedel. Akibatnya Riedel dengan terpaksa harus menyerahkan tanggungjawab pekerjaan kepada GPI. Lembaga ini merupakan “perpanjangan tangan” dari pemerintahan Hindia-Belanda.
 Ludwig Ingwer Nommensen (1834-1918)
Nomensen adalah seorang tokoh pekabar injil Jerman yang terkenal di Indonesia. Pekerjaannya menghasilkan sebuah Gereja yang terbesar ditengah suku batak Toba, yakni Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Tidak berlebihan jikalau ia diberi gelar Rasul Batak. Ia sudah memberikan seluruh hidupnya bagi pekerjaan pekabaran Injil ditanah Batak. Nomensen dilahirkan pada tanggal 6 Februari 1834 disebuah pulau kecil yang bernama P. Noorrdsrand, Jerman Utara. Ayahnya adalah seorang yang miskin, melarat dan sakit-sakitan. Nommensen sejak kecil sudah hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. Sejak kecil ia sudah mencari nafkah untuk membantu orang tuanya. Tahun 1861 ia ditahbiskan menjadi Pendeta. Sesudahnya ia berangkat menuju Sumatera dan tiba pada bulan Mei 1862 di padang. Ia memulai pekerjaan-pekerjaannya di Barus. Ia mulai belajar bahasa cepat sekali dikuasainya. Sekarang ia mulai mengadakan kontak-kontak dengan orang-rang Batak, terutama dengan para raja. Ia tidak jemu mengadakan perjalanan keliling untuk menjalin hubungan yang baik. Ia mempelajari adat istiadat batak dan mempergunakannya dalam mempererat pergaulan.[81]
            Pada perjalanan kedua beliau ke Silindung tahun 1863 kali ini beliau mengalami penderitaan dan banyak penolakan dari suku Batak sendiri. Namun akhirnya, raja Pontas Lumbantobing mengulurkan tangan pertolongan kepada beliau dengan memberi diri untuk dibaptis. Setelah Nommensen melayani selang beberapa saat di daerah Silindung, beliau telah memenangkan beberapa orang petobat baru. Tetapi, masyarakat Batak menganiaya petobat baru tersebut sehingga mereka memaksa ompu Nommensen untuk mencari sebuah tempat perlindungan bagi mereka. Mereka menerima perlindungan di “Huta Damai”, yaitu di sebuah desa Kristen. Pada saat pelayanan Nommensen sudah selama 7 tahun. Terdapat 400 orang penganut Kristen di tanah Batak. Sepuluh tahun kemudian, mereka terus bertambah hingga 10 kali lipat.[82] Nommensen memberitakan Injil di tanah Batak dengan berbagai macam cara. Ia menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Toba, menerbitkan cerita-cerita Batak. Ia juga berusaha untuk memperbaiki pertanian, peternakan serta meminjamkan modal menebus hamba-hamba dari tuannya. Sekolah-sekolah, balai pengobatan dibukanya. Karena kecakapannya dan jasanya dalam pekerjaan penginjilan, maka pemimpin RMG mengangkatnya menjadi Ephorus pada tahun 1881. Nommensen meninggal pada umur sangat tua, 84 tahun, 12 Mei 1918. Nommensen dikuburkan di Sigumpar di tengah-tengah suku bangsa Batak setelah bekerja di kalangan suku bangsa ini selama 57 tahun.[83]
Tokoh Kristen Dari Pribumi Pada Masa Hindia-Belanda
 Paulus Tosari (1813-1882)[84]
Paulus Tosari lahir sekitar tahun 1813 dan meninggal sekitar tahun 1882. Beberapa ratus orang penduduk Ngoro pergi ke Surabaya untuk dibaptis. Dalam hal ini kita amati suatu ironi: orang Kristen Jawa menolak bentuk Jawa dan mereka berpaling kepada agama Kristen dalam gaya Emde yang justru menolak seluruh kebiasaan Jawa! Gejala seperti ini nampak pula di daerah-daerah lain dan meminta untuk dibaptis ialah Paulus Tosari. Ia ini pernah belajar di pesantren, tetapi kemudian menempuh jalan yang kurang baik. Setelah mengatasi krisis ini, ia mendengar tentang “ilmu” yang dapat diperoleh di Ngoro. Perkataan Yesus dalam Matius 5:3 menjadi pegangan dan pedoman hidup baginya. Sekitar tahun 1840, Tosari pindah ke Ngoro dan setelah berguru lagi pada Coolen, ia pun diberi tugas memimpin kumpulan-kumpulan pada hari Minggu dan Kamis malam. Tosari bekerja sama dengan Jellesma berlangsung dalam suasana baik dan memberi hasil yang baik. Tosari mendirikan “Lumbung orang Miskin”: jemaat mengumpulkan padi yang kemudian “dipinjamkan” atu diberikan kepada orang-orang yang berkekurangan. Jellesma menerbitkan juga Riwayat-riwayat Alkitab dan sebuah bundel Nyanyian Rohani dalam bahasa Jawa.
 Ibrahim Tunggul Wulung (+ 1885)[85]
Ibrahim lahir di daerah Juwana, dekat Jepara pada awal abad ke-19, dengan nama Ngabdullah. Dari namanya ini dapat diduga bahwa ia semula adalah seorang Muslim. Ia meninggalkan tanah kelahirannya menuju Kediri sekitar tahun 1840, akibat kesulitan ekonomi yang melanda daerah Jepara, mungkin akibat penerapan aturan Tanam Paksa. Menurut legenda populer tentang dirinya, Ngabdullah, yang kini sudah bernama Tunggul Wulung dan menjadi kiai, ‘turun gunung’ untuk seterusnya setelah secara ajaib menemukan salinan Dasa Titah di bawah tikar tempat tidurnya. “Agaknya ia memandang titah-titah ini selaku tanda kedatangan kerajaan mesianis bagi mereka yang ingin keluar dari rumah perhambaan”, komentar Van Akkeren atas legenda itu. Selanjutnya Tunggul Wulung menemui Coolen, Emde, dan Jellesma (seorang penginjil utusan NZG, yang bekerja di Surabaya sejak 1848 dan di Mojowarno sejak 1851). Setelah itu ia berkelana ke mana-mana sambil mengabarkan Injil. Di dalam laporan Komite Jawa (Java Comité) terdapat laporan yang sangat positif: “Walaupun usianya sudah 60 tahun, dengan semangat dan ketekunan yang meluap-luap demi bangsanya, ia berjalan kaki dari kota ke kota, dari desa ke desa, untuk mengabarkan Injil, tanpa menerima bantuan keuangan sedikit pun dari siapa pun.” Semangatnya ini membuat Jellesma yakin akan kesungguhan Tunggal Wulung, lalu Jellesma membaptis Tunggul Wulung bersama istrinya pada tanggal 6 Juli 1857 dengan nama baptis Ibrahim. Jadilah nama lengkapnya Kyai Ibrahim Tunggul Wulung. Setelah itu ia kembali dinamakannya desa Banyutowo. Kemudian ia mendirikan desa lain lagi, yaitu Tegalombo. Sama seperti Coolen di Ngoro, di desa-desa ini Tunggul Wulung berperan sebagai pendiri, kepala desa, dan pengkhotbah tentang Ratu Adil Isa Rohallah. Ia mengembangkan jemaat-jemaat yang didirikannya sebagai kelompok-kelompok mandiri dari kaum Kristen-Jowo, yang terpisah dari – dan bersaing dengan – kaum Kristen Londo, yakni para zending Belanda dengan warga jemaat mereka.
 Kiai Sadrach (1835-1924)
Sadrach lahir di daerah antara Demak dan Jepara dengan nama Radin, di lingkungan keluarga Islam abangan atau Islam Kejawen. Namun demikian, ia mempunyai minat besar mendalami agama dengan sungguh-sungguh, demi untuk mencari dan memperoleh ngelmu yang sejati dan tertinggi. Ini mendorongnya untuk berguru dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain pada sejumlah kiai atau guru Islam, terutama di Jawa Timur, lalu menambahkan nama santri Abad pada namanya. Dalam rangka pencarian itu ia berkenalan dengan Pak Kurmen alias Sis Kanoman, seorang guru ngelmu yang pernah “dikalahkan” Ibrahim Tunggul Wulung. Selanjutnya Radi Abas diantar untuk berguru pada Kiai Ibrahim Tunggul Wulung di desa Bondo. Namun sejak 1861 Radin Abas berniat untuk menempuh jalan sendiri, dan atas saran Tunggul Wulung ia menjumpai F.L. Anthing di Batavia. Di situlah Radin Abas dibaptis oleh seorang pendeta Indische Kerk dan menerima nama baptis Sadrach, mengacu pada Kitab Daniel. Pemilihan nama ini bisa dianggap sebagai bukti perlawanan Sadrach terhadap sang penindas kolonial, samap seperti yang dlakukan Sadrach terhadap Raja Nebukadnezar di Babilonia.[86]
Setelah kematian Tunggul Wulung (1885), di Jawa Tengah bagian Selatan tetap terdapat sekelompok orang-orang Kristen yang meneruskan tradisi Tunggul Wulung. Mereka ini dipimpin oleh salah seorang murid Tunggul Wulung, yaitu Sardrach. Selama beberapa tahun ia bekerja di Jawa Barat dan kemudian menjadi pembantu Ny. Philips di Purworejo. Setelah Ny. Philips meninggal, jemaat yang telah dikumpulkannya menerima Sadrach menjadi pemimpinnya (1876). Di sini juga Zending, yaitu NGZV dan kemudian Zending Gereformeede Kerken di Nederland masuk.[87] Selanjutnya sejak 1894 Sadrach beralih ke Gereja Kerasulan yang di Indonesia berpusat di Jawa Barat dan diangkat menjadi rasul; jabatan itu dipegangnya dengan taat dan hormat hingga ia meninggal pada tahun 1924.[88]
            Refleksi Teologis
Sebagai orang yang mengabarkan berita kesukaan (Injil) akan banyak sekali pergulatan yang akan dihadapinya. Kalau di dalam memberitakan Injil saja pun seorang penginjil tidak memperlengkapi dirinya bagaimana bisa ia bisa senantiasa memberitakan Injil itu? Sudah barang tentu ia harus memakai senjata terang untuk memisahkan gelap itu, sehingga kacamata imannya tidak dibingungkan oleh kegelapan itu. Lagipula sikap ketika kita memberitakan Injil pun akan menjadi penilaian bagi orang yang mendengarkannya. Rasul Paulus di dalam Suratnya ke jemaat di Roma (13:13-14), “Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.” Di kalangan penginjil pun terjadi perselisihan yakni Coolen dan Emde. Mereka mempertentangkan antara agama dan kebudayaan suku, yang satu menerimanya (kebudayaan suku) yang satu menolaknya (agama). Apakah ini yang dimaksud oleh Kristus di dalam amanat agungnya (Matius 28:18-20)? Kristus menginginkan persatuan di dalam Gerejanya. Sehingga di dalam memberitakan firman Tuhan haruslah sebagai orang percaya mengenakan senjata terang ialah Tuhan Yesus Kristus, sehingga Roh Kudus akan membimbing mana hal yang baik akan kita lakukan dan mana hal yang jahat yang akan kita tinggalkan. Sehingga kepahitan duniawi akan bisa kita hadapi di dalam memberitakan Injil (kabar kesukaan) itu. Bukan malah menjadi membuat kita bergelut kepada dua hal yang bisa saja memiliki kebaikan, dan di dalamnya terdapat karya dari pada Allah.
          Kesimpulan
Transisi di Eropa yang ditandai oleh gerakan Renaisans telah membawa manusia menjadi kaidah segala sesuatu yang eksis. Dua abad lamanya setelah kejadian Renaisans, Eropa masih takluk di bawah kekuasaan Gereja. Namun, reformasi dan kontranya masih memimpin di dalam dua abad lamanya itu. Renaisans yang semakin lama menunjukkan tajinya semakin meresap di berbagai ruang kehidupan termasuk dalam ruang kehidupan gereja.
Di Perancis, misalnya lahir gerakan Pencerahan yang dipimpin oleh Voltaire yang kemudian membawa dampak besar bagi negara tersebut. Dimulai dari sini banyak sekali hal-hal besar yang berubah yakni kebudayaan Barat itu sendiri serta penghayatan orang Kristen akan imannya juga tidak luput dari perubahan itu. Hingga muncullah dua aliran utama di Eropa, yaitu Pencerahan dan Pietisme/ Revival. Hasil-hasil pencerahan ialah kebebasan manusia yang menjurus kepada ilmu pengetahuan. Dari sinilah, dalam abad ke-19, bangsa Eropa memungkinkan perluasan kekuasan melalui lautan.
Lain lagi dengan Pietisme yang menginginkan supaya orang yang menamakan diri Kristen benar-benar menghayati imannya. Melalui Pietisme, lembaga-lembaga Pekabar Injil hadir di Indonesia, yaitu Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG), dan lain-lain. Akhir dari abad ke-18, kehidupan Eropa bagaikan pohon yang hampir mati. Rasa frustasi masyarakat menimbulkan yang namanya Revolusi tahun 1789. Revolusi Perancis menjatuhkan kepemimpinan tradisional dan mengubahnya dengan azas demokrasi. Sehingga gereja dan negara harus berpisah juga raja dengan pemimpin gereja harus bercerai.
Belanda salah satu negara yang terkena dampak itu. Melalui Napoleon Bonaparte, Perancis menyerbu dan menguasai Belanda walau tidak lama. Naman, hal tersebut juga berpengaruh dan berdampak atas negara jajahan Belanda, yakni Indonesia (yang saat itu bernama Hindia-Belanda). Dahulu, Indonesia di bawah kekuasaan badan perdagangan Belanda yaitu VOC, melalui “Bataasfe Republiek” VOC dibubarkan badan tersebut dan mengambil alih pemerintahan jajahan di Indonesia. Sehingga sebagai kepala pemerintahan di Hindia-Belanda, semula diangkatlah Letnan Gubernur Jenderal.
Transisi di Indonesia tidak jauh dari perubahan yang dialami oleh Belanda. Apa yang sudah terjadi di negeri Beland, akan terjadi di Indonesia, artinya berdampak terhadap kondisi Indonesia. Buktinya ialah Belanda pada hakekatnya merupakan satelit dari Perancis, maka dengan sendirinya Indonesia tersangkut di dalam peperangan besar antara Napoleon dan Inggris pada tahun 1811. Namun, setelah Napoleon dikalahkan, Indonesia dikembalikan ke Belanda pada tahun 1815. Dari tahun 1816-1864 “Hindia-Belanda” dikuasai langsung oleh raja tanpa perwakilan rakyat Belanda, pada masa inilah lembaga-lembaga Pekabaran Injil terus menerus berdatangan tetapi dengan banyak pembatas-pembatasan. Mulai tahun 1864 parlemen Belanda menentukan kebijaksanaan politis di Indonesia, sebagaimana di Nederland sendriri. Dengan keputusan raja Belanda, Willem I, bertekad menghapus pertikaian antara gereja-gereja dengan menyatukan aliran Protestan di Indonesia melalui Gubernur Jenderal yang memimpin saat itu. Dengan demikian, di bidang Gereja diatur secara baru.


          Daftar Bacaan
Aritonang, Jan S., Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016
Cooley, F. Ukur dan F.L., Jerih dan Juang, Laporan Nasional Survei Menyeluruh Gereja di Indonesia, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi DGI, 1979
Culver, Jonathan E., Sejarah Gereja Indonesia, Bandung: Biji Sesawi, 2014
de Jonge, C., Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989
Enklaar, H. Berkhof dan I.H., Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016
Enklaar, H. Berkhof dan I.H., Sejarah Gereja, Jakarta: Gunung Mulia, 1986
Greer, Donald, The Incidence of the Terror during the French Revolution: A Statistical Interpretation, England: Harvard University Press, 2014
Hale, Leonard, Jujur Terhadap Pietisme, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996
Müller Krüger, Th., Sedjarah Geredja di Indonesia, Djakarta: Badan Penerbit Kristen, cet. ke-2, 1966
Mustopo, M. Habib, Sejarah, Jakarta: Yudhistira Ghalia Indonesia, 2006
Ngelow, Zakaria J., Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan Dengan Pergerakan Nasional Indonesia, 1900-1950, Jakarta: Gunung Mulia, 1994
Petersen, A. Kenneth Curtis, J. Stephen Lang, dan Randy, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen, Jakarta: Gunung Mulia, 2013
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern (terj.), Yogyakarta: Gajah Mada University Press, cet. ke-4, 1994
Situmorang, Jonar T.H, Sejarah Gereja Umum, Yogyakarta: ANDI, 2014
Sugiharsono, et. al, Contextual Teaching and Learning Ilmu Pengetahuan Sosial, Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2008
van den End, Th., Harta Dalam Bejana, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995
van den End, Th., Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1500-1860-an, Jakarta: Gunung Mulia, 2013
Weitjens, Th. van den End dan J., Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1860-an – Sekarang, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016
Wellem, F.D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: Gunung Mulia, 2006
Wellem, F.D., Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, Jakarta: Gunung Mulia, 2003
WS, Indrawan, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jombang: Penerbit Lintas Media, 2009


[1] Lih. H. Berkhof dan I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 99.
[2] Renaissance adalah istilah dalam bahasa Perancis, yang berasal dari bahasa Latin, re+nasei,yang berarti: lahir kembali (rebirth) Istilah ini biasanya digunakan oleh sejarawan untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya yang terjadi di Eropa, sepanjang abad ke-15 dan ke-16. (Lih. Jonar T.H Situmorang, Sejarah Gereja Umum, (Yogyakarta: ANDI, 2014), 305.)
[3] H. Berkhof dan I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 256.
[4] H.Berkhof dan I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, 259.
[5] Pencerahan atau Aufklarüng, istilah ini dikenakan pada aliran atau gerakan pemikiran yang muncul pada abad ke-18 di Eropa, khususnya di Jerman. Para pelopornya, antara lain adalah H.S. Reimarus, G.E. Lessing, dan J.G. Herder. Aufklarüng menentang semua agama supraalamiah dan yakin bahwa akal manusia cukup untuk membawa manusia pada kebahagiaan. Mereka percaya kepada Allah, kebebasan dan kekekalan sejauh sesuai dengan akal, tetapi ia menolak dogma Kristen dan bermusuhan dengan Katolisisme dan dengan ortodoksi Protestan yang mereka pandang sebagai kuasa yang menggelapkan kemampuan manusia. Aufklarüng berkembang subur di kalangan Protestan di Jerman yang menyebabkan majunya studi kritis terhadap Alkitab dan menimbulkan reaksi penolakan dari gerakan Pietisme. Dalam kalangan Gereja Katolik Roma di Jerman, semangat Aufklarüng berkembang di tengah-tengah awam yang terdidik. Mereka mengkritik serikat-serikat keagamaan, selibat para klerus, dan pemujaan relikwi-relikwi. (Lih. F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 31.)
[6] Pietisme merupakan gerakan kesalehan dalam gereja Protestan di Jerman pada abad ke-17. Pelopornya, antara lain adalah P.J. Spener. Tujuannya adalah untuk menghidupkan kembali kehidupan iman dalam kalangan orang-orang Protestan di Jerman yang telah menjadi suam karena kebekuan ajaran dan pengaruh semangat pencerahan. Gerakan Pietisme telah mendorong berdirinya lembaga-lembaga pekabaran Injil di seluruh dunia, sehingga pada abad ke-19 kegiatan pekabaran Injil menjalar ke seluruh dunia. (Ibid, 365.)
[7] Th. van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1500-1860-an, (Jakarta: Gunung Mulia, 2013), 139-140.
[8] A. Kenneth Curtis, J. Stephen Lang, dan Randy Petersen, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen, (Jakarta: Gunung Mulia, 2013), 115.
[9] Terdapat prinsip-prinsip baru, yaitu: (1) Liberté (kebebasan); (2) Égalité (persamaan); (3) Fraternité (persaudaraan). (Lih. Donald Greer, The Incidence of the Terror during the French Revolution: A Statistical Interpretation, (England: Harvard University Press, 2014),...).
[10] C. de Jonge, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 83.
[11] Jelata, biasa-biasa saja, rendah (Lih. Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jombang: Penerbit Lintas Media, 2009), 366.)
[12] H. Berkhof dan I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, 259-260.
[13] Ibid, 264.
[14] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (terj.), (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, cet. ke-4, 1994), 170.
[15] H. Berkhof dan I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, 264.
[16] Th. Müller Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia, (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, cet. ke-2, 1966), 61.
[17] F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang, Laporan Nasional Survei Menyeluruh Gereja di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi DGI, 1979), 472-473.
[18] Th. Müller Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia, 61.
[19] VOC ialah lembaga perdagangan dan pemerintahan yang dibentuk oleh pemerintah Belanda di Indonesia pada tahun 1602. Lembaga ini merupakan penggabungan dari beberapa lembaga perdagangan Belanda yang melakukan kegiatan perdagangan di Indonesia. Indonesia menjadi daerah jajahan langsung dari Belanda. VOC diberi hak monopoli perdagangan dalam wilayah antara Madagaskar sampai selat Magalhaom. Di samping itu  ia juga diberi hak kedaulatan sendiri, mempunyai pasukan sendiri, mengeluarkan mata uang sendiri serta mengadakan perjanjian atau perang dengan Negara lain. VOC juga bertanggung jawab atas kehidupan Gereja dan pekabaran Injil dalam wilayahnya. Oleh karena itu, lembaga inilah yang membawa kekristenan Protestan Calvinis untuk pertama kalinya di Indonesia. VOC dibubarkan pada tahun 31 Desember 1799 karena mengalami kebangkrutan. Indonesia menjadi daerah jajahan langsung dari pemerintah Belanda. (Lih. F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2006), 471.)
[20] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 73-74.
[21] Th. van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1500-1860-an, (Jakarta: Gunung Mulia, 2013), 137.
[22] H. Berkhof dan I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: Gunung Mulia, 1986), 264.
[23] Th. Müller Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia, 61.
[24] Th. van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1500-1860-an, 139.
[25] Paham kebebasan beragama yang dihasilkan Revolusi Perancis (1789) adalah pula kebebasan memberitakan Injil, sehingga badan-badan pekabaran Injil dapat bekerja di Indonesia. Pada umumnya badan-badan itu bukan lembaga dari gereja tertentu, melainkan perkumpulan “swasta” di luar gereja. (Lih. Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan Dengan Pergerakan Nasional Indonesia, 1900-1950, (Jakarta: Gunung Mulia, 1994), 18).
[26] Ibid, 138.
[27] Pemerintahan Daendels (1808-1811) untuk menjalankan pemerintahan di Indonesia diangkatlah gubernur jenderal Daendels. Daendels tiba di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1808. Daendels kemudian mengadakan banyak tindakan. Salah satu tindakan Daendels yang terkenal adalah dalam bidang sosial ekonomi. Beberapa tindakan itu antara lain sebagai berikut.
-          Meningkatkan usaha pemasukan uang dengan cara pemungutan pajak.
-          Meningkatkan penanaman tanaman yang hasilnya laku di pasaran dunia.
-          Rakyat masih diharuskan melaksanakan penyerahan wajib hasil pertaniannya.
-          Untuk menambah pemasukan dana juga telah dilakukan penjualan tanah-tanah kepada pihak swasta.
-          Membangun jalan ke Anyer – Panarukan, Jawa Barat. (Lih. Sugiharsono, et. al, Contextual Teaching and Learning Ilmu Pengetahuan Sosial, (Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2008), 54.)
[28] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 73-74.
[29] F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang, Laporan Nasional Survei Menyeluruh Gereja di Indonesia, 475.
[30] Ketika akhirnya Inggris menyerbu Pulau Jawa, pengganti Daendels, Gubernur Jenderal Janssens, tidak mampu bertahan dan menyerah. Akhir dari penjajahan Belanda-Perancis itu ditandai dengan Kapitulasi Tuntang, yang isinya sebagai berikut:
a.       Seluruh Jawa dan sekitarnya diserahkan kepada Inggris.
b.       Semua tentara Belanda menjadi tawanan Inggris.
c.        Semua pegawai Belanda yang mau bekerja sama dengan Inggris dapat memegang jabatannya terus.
d.       Semua utang Pemerintah Belanda yang dahulu, bukan menjadi tanggung jawab Inggris.
Kapitulasi Tuntang ditandatangani pada tanggal 18 September 1811 oleh S. Auchmuty dari pihak Inggris dan Janssens dari pihak Belanda. (Lih. M. Habib Mustopo, Sejarah, (Jakarta: Yudhistira Ghalia Indonesia, 2006), 106.)
[31] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 74-75.
[32] Ibid, 75.
[33] Th. Müller Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia, 68.
[34] Istilah untuk Badan Penginjilan Prostestan
[35] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 75-76.
[36] Th. Müller Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia, 62.
[37] F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang, Laporan Nasional Survei Menyeluruh Gereja di Indonesia, 479.
[38] Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan Dengan Pergerakan Nasional Indonesia, 1900-1950, (Jakarta: Gunung Mulia, 1994), 16.
[39] Th. van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1500-1860-an, 146.
[40] Th. Van den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 247.
[41] Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan Dengan Pergerakan Nasional Indonesia, 1900-1950, 16.
[42] Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia, (Bandung: Biji Sesawi, 2014), 39-40.
[43] Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan Dengan Pergerakan Nasional Indonesia, 1900-1950, 16.
[44] Th. van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1500-1860-an, 145.
[45] Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan Dengan Pergerakan Nasional Indonesia, 1900-1950, 16.
[46] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Indonesia, 77.
[47] F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang, Laporan Nasional Survei Menyeluruh Gereja di Indonesia, 475-476.
[48] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 78-79.
[49] Th. van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1500-1860-an, 227-229.
[50] Ibid, 229-231.
[51] Ibid, 233-235.
[52] Ibid, 237.
[53] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 300.
[54] Leonard Hale, Jujur Terhadap Pietisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 67.
[55] Th. van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1860-an – Sekarang, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 19-20.
[56] F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang, Laporan Nasional Survei Menyeluruh Gereja di Indonesia, 487.
[57] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 282.
[58] Th. van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1860-an – Sekarang, 21.
[59] Leonard Hale,  Jujur Terhadap Pietisme, 70.
[60] F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang, Laporan Nasional Survei Menyeluruh Gereja di Indonesia, 488.
[61] Leonard Hale, Jujur Terhadap Pietisme,  71.
[62] Th. van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1860-an – Sekarang, 24.
[63] F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang, Laporan Nasional Survei Menyeluruh Gereja di Indonesia, 488-489.
[64] Leonard Hale, Jujur Terhadap Pietisme,  72.
[65] Th. van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1860-an – Sekarang, 24.
[66] Leonard Hale, Jujur Terhadap Pietisme, 72.
[67] Ibid, 73.
[68] F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang, Laporan Nasional Survei Menyeluruh Gereja di Indonesia, 489.
[69] Leonard Hale, Jujur Terhadap Pietisme,  73.
[70] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 114.
[71] F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang, Laporan Nasional Survei Menyeluruh Gereja di Indonesia, 489.
[72] Leonard Hale, Jujur Terhadap Pietisme,  75.
[73] F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang, Laporan Nasional Survei Menyeluruh Gereja di Indonesia, 490.
[74] Ibid, 490-491.
[75] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 87-88.
[76] Ibid, 89.
[77] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), 109-110.
[78] Th. Van den End, Harta Dalam Bejana, 253.
[79] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, 111.
[80] Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia, 73-74.
[81] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, 146.
[82] Jonathan E Culver, Sejarah Gereja Indonesia, 93-94.
[83] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, 146.
[84] Th. van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1500-1860-an, 203.
[85] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 93-94.
[86] Ibid, 97.
[87] Th. van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1500-1860-an, 208.
[88] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 99.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelayakan Usaha Kerajinan Keranjang Bambu

Teologi Sistematika