KERUKUNAN AGAMA

PENDAHULUAN

 

1.1.               Latar Belakang Masalah

Agama memiliki arti penting bagi manusia agar manusia tidak tersesat didalam menjalani kehidupan di dunia. Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan atau juga di sebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.[1] Pengertian agama menurut bahasa ada dua macam: 1. Haluan, peraturan, jalan atau kebaktian kepada Tuhan. 2. Bahwa kata agama terdiri dari dua perkataan yaitu, “A” berarti tidak. “Gama” berarti kacau balau, tidak teratur. Jadi, agama berarti tidak kacau balau yang berarti teratur. Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hidup beragama itu adalah hidup yang teratur, sesuai dengan haluan atau jalan yang telah dilimpahkan Tuhan dan dijiwai oleh semangat kebaktian kepada Tuhan.[2] Setiap agama mempunyai simbol-simbol tersendiri dalam penunjukkan identitas agamanya.[3] Simbol adalah lambang yang berbicara tanpa kata-kata, menulis tanpa tulisan. Oleh karena itu, simbol merupakan cara pengenalan makna secara otonom, maupun logikanya sendiri, tersruktur dalam suatu sistem yang koheren, bersifat mistis dan universal.[4]

Secara etimologis istilah “simbol” diserap dari kata symbol dalam bahasa Inggris yang berakar pada kata symbolicium dalam bahasa latin. Sementara dalam bahasa Yunani kata symbolon dan symballo yang juga menjadi akar kata symbol, memiliki beberapa makna generik, yakni tanda, memberi kesan dan menarik. Simbol adalah tanda atau isyarat yang digunakan untuk mewakili sesuatu yang lain seperti arti, kualitas, abstraksi, gagasan dan objek.[5]

Simbol juga sebagai sarana atau mediasi untuk membuat dan menyampaikan suatu pesan, menyusun sistem epistimologi dan keyakinan yang dianut.[6] Simbol merupakan unit terkecil dari suatu ritual, yang mengandung sifat-sifat khusus dari tingkah laku ritual itu, serta merupakan unit terpokok dari struktur spesifik dalam ritual.[7]

Dalam Kristen Protestan, kata “simbol” tidak terdapat dalam Alkitab, tetapi penggunaan simbol terdapat dalam Kekristenan sebagaimana pada semua agama. Kata simbol berasal dari kata Yunani symbolon, yang artinya “tanda, janji”. Simbol adalah objek yang mewakili dan realitas daripada yang disimbolkan. Simbol bersifat pribadi, benda atau lambang. Dalam Alkitab Perjanjian Lama, antara lain disebutkan bahwa Daud adalah simbol dari pasukannya (II Sam. 18:3). Musa adalah simbol kehadiran Allah di hadapan Firaun (Kel. 7:1). Dalam Alkitab Perjanjian Baru, Perjamuan Kudus adalah simbol dari kehadiran Yesus mengorbankan diri-Nya dan yang telah dipermuliakan. Roti dan anggur adalah simbol dari tubuh dan darah Yesus. Gereja tidak melarang penggunaan simbol-simbol, sebab berakar pada alam dan pengalaman manusia, tetapi dilarang memuja simbol-simbol. Dalam agama Kristen, simbol-simbol keagamaan banyak dan bervariasi. Salib merupakan simbol pengorbanan diri Yesus Kristus sendiri, yang dengan rela menerima kematian (disalibkan) sebagai tebusan bagi dosa-dosa manusia. Salib merupakan tiang tegak lurus, yang biasanya memiliki sebuah balok palang, tempat seorang penjahat dipakukan atau diikat dan dibiarkan di situ sampai ia mati (Yoh. 19:17). Itulah cara hukuman bangsa Romawi atas penjahat-penjahatnya atau dapat diartikan lambang penyerahan diri secara mutlak kepada Kristus, bahkan sampai bersedia mati (Luk. 9:23).

Selanjutnya dipakai simbol “Ikan” yang merupakan terjemahan dari kata “Ichtus” (bahasa Yunani), yang juga singkatan atau akronim dari Iesus Christus Theou Uios Salvator, yang artinya Yesus Kristus Anak Allah, Penyelamat. Begitupun dengan roti, simbol dari Tuhan sebagai sumber hidup. Akhirnya juga termasuk simbol keagamaan ialah “Sakramen-sakramen” (bahasa Latin) atau “Misterion” (bahasa Yunani), yakni tindakan atau perbuatan liturgis gereja, di mana melalui perbuatan itu Tuhan menyelamatkan atau menguduskan umat-Nya.[8]

Simbol menandakan suatu identitas ataupun keberadaan suatu hal. Agama juga memiliki simbol. Seperti sebuah teratai yang mengembang adalah simbol milik agama Buddha. Sedangkan agama Islam diwakili oleh simbol bulan sabit dan bintang.[9] Simbol bulan bintang ini secara realitasnya koheren dengan islam, bulan bintang adalah simbolisme dari nabi atau rasul, yang melambangkan hati yang peka. Nabi dan rasul sebagai penghambar sebagai atasan, penerjemah bahasa Ilahiyah dan lain-lain, tidak mungkin ia jalankan secara kekerasan kecuali dengan hati yang terbuka, sehingga mereka disimbolkan dengan orang yang terpilih seperti bulan. Bulan sabit dikaitkan dengan hati, berarti hati yang responsive terhadap cahaya Ilahi.[10]

Dalam Islam, simbol keagamaan yang mengidentikkan milik umat Islam seperti Ka’bah dan Masjid di Makkah, sebagai simbol tauhid dan persaudaraan umat Islam dunia. Demikian juga Masjid, Mushalla, Madrasah atau Pesantren, sebagai lembaga pendidikan yang bernuansakan agama yaitu lembaga pendidikan Islam. Orang yang menggunakan peci, kopiyah dan surban di kepala juga menjadi simbol keagamaan, tetapi hal itu sudah dipakai khalayak umum, artinya tidak hanya dipakai oleh umat Islam saja, umat lain pun banyak yang menggunakannya.[11]

Tak dapat diragukan bahwa agama telah memegang peranan penting dalam pembentukan watak dan pembinaan bangsa. Orang-orang yang hidup beragama dengan keyakinan yang teguh, niscaya semua ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya akan ditunjukkan kepada kebaikan, dan ia akan menjauhi segala perkataan dan perbuatan yang tidak baik.[12] Tetapi agama kini kehilangan maknanya sebagai wahana pendewasaan bagi umat beragama, sehingga seluruh umat di dalamnya dan otoritas-otoritas yang bersinggungan dengan keberadaannya. Konflik-konflik yang mengatasnamakan agama belakangan ini sering terjadi. Salah satu sebabnya, kurangnya pemahaman tentang agama secara universal.[13]

Akhir-akhir ini ada polemik yang sedang hangat saat ini menyangkut isi ceramah Ustadz Abdul Somad pada acara komunitas. Dalam sebuah video viral di media sosial, Somad atau Ustadz Abdul Somad (UAS) menjawab pertanyaan jemaah, “Apa sebabnya Ustadz kalau saya menengok salib, menggigil hati saya.” UAS menjawab, “Setan!” UAS juga menambahkan, salib didiami jin kafir karena patung yang tergantung di situ. Begitu pula simbol palang merah di ambulance, ia menyebutnya ”lambang kafir”. Menyebut lambang Palang Merah sebagai “lambang kafir”, tidaklah tepat. Lambang Palang Merah itu, dibuat Henry Dunant tahun 1859, mengambil dari bendara Swiss ketika itu, dengan beda warna. Keempat palangnya juga sama panjangnya, tidak seperti palang salib yang garis vertikalnya lebih panjang. Palang Merah lebih merupakan simbol kebangsaan (Swiss) dan diambil sebagai simbol para relawan yang membantu korban perang.

Tentang kasus ini, UAS memberikan tanggapan: bahwa ceramah itu terjadi bertahun-tahun silam dalam kajian tertutup di suatu masjid di Pekanbaru, Riau, bukan takbir akbar atau disiarkan stasiun televisi. UAS mengaku sedang membahas kedudukan Nabi Isa dan ajaran tauhid tentang salib, patung, dan jin.[14] 

Dalam hal ini, ada pemaknaan yang salah mengenai simbol agama terkhusus mengenai salib yang dilontarkan oleh Ustadz Abdul Somad. Simbol salib mempunyai banyak pengertian.[15] Dalam bahasa Yunani kata “salib” diterjemahkan dengan kata stauros yang berarti kayu sulaan sebagai alat untuk menghukum mati seseorang.[16] Di samping itu juga salib dipakai sebagai wadah penghukuman atau sebagai alat untuk mengeksekusi orang yang melakukan kejahatan atau yang memberontak kepada penguasa, yang pertama sekali menggunakan salib sebagai alat eksekusi ialah bangsa Babilonia, Persia dan Fenesia yang kemudian diterima oleh bangsa Romawi.[17] Begitu juga dengan Yesus orang Nazareth (Kristus) yang dihukum dengan disalibkan. Dalam kekristenan tentunya kata “salib” tidak asing lagi, ketika dikatakan salib maka yang pertama terpikirkan adalah Kristus menderita untuk menebus dosa manusia.[18]

PENGERTIAN DAN PEMAKNAAN SIMBOL AGAMA PERSPEKTIF KRISTEN-ISLAM

 

2.1     Etimologi dan Terminologi Agama

          2.1.1 Etimologi Agama

Secara etimologi, istilah agama berasal dari bahasa sansekerta, yang berarti antara lain peraturan tradisional, ajaran, kumpulan peraturan-peraturan atau ajaran. Akar kata agama adalah “a” dan “gama”. Awalan “a” berarti “tidak”, dan “gama” yang berarti kacau, sehingga agama berarti yang tetap atau yang tidak kacau.[1] Jika dihubungkan dengan kehidupan, maka hidup beragama itu adalah hidup yang teratur, sesuai dengan haluan, atau jalan yang telah dilimpahkan Tuhan dan dijiwai oleh semangat kebaktian kepada Tuhan.[2] Sementara dalam bahasa Inggris, agama disebut dengan “religio” yang berasal dari kata “religare” yang berarti “mengikat”. Pengertian ini menjelaskan bahwa agama adalah keterikatan manusia dengan Tuhan. Hal ini tampak dari gambaran agama yang memiliki sikap keterikatan manusia terhadap Tuhan dalam menjalankan dan mematuhi semua ajarannya.[3]

 

          2.1.2 Terminologi Agama

Secara terminologi, agama dimengerti untuk mengatur hidup para penganutnya agar dapat memberi kebahagiaan di dunia dan akhirat, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada masyarakat sekitarnya. Selain itu, agama juga memberikan ajaran untuk membuka jalan menuju kepada Tuhan Yang Maha Esa ketika manusia telah mati.[4]

Menurut agama Islam, agama artinya tidak kacau, tidak pergi (diwarisi turun-temurun), dan jalan bepergian (maksudnya jalan hidup).  Agama juga disebut dengan istilah ad-din. Kata ad-din adalah bentuk masdar dari kata kerja, dana-yadinu. Menurut bahasa Arab itu mengandung banyak arti, antara lain: taat atau patuh (Q.S. 16:52), menunggalkan ke Tuhanan (Q.S. 3:18), pembalasan (Q.S. 1:3), nasehat “al-din al-nashihah” (HR. Bukhari dan Muslim), agama (Q.S. 6:156; 109:6), hari kiamat dan undang-undang (Q.S. 12:76). Maksudnya undang-undang ke Tuhanan yang memberi arah akal pikiran manusia untuk mengatur kehidupannya, baik hubungannya dengan sesama (hablumminannas) dan hubungannya dengan Allah (hablumminallah) dan menentukan pilihan menuju kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat yang mencakup akidah dan ibadah.

Sedangkan menurut agama Kristen, agama adalah kepercayaan orang atau suku bangsa terhadap yang Maha Kuasa yang dinyatakan dalam ibadah dan dalam perilakunya yang dipengaruhi oleh kepercayaan itu. Dalam hal ini kepercayaan yang dimaksud adalah kepercayaan terhadap Yesus Kristus sebagai Tuhan yang dinyatakan dalam wujud ibadah dan dalam perilaku sehari-hari yang seturut teladan Yesus Kristus.[5]

 

2.2.    Etimologi dan Terminologi Simbol

          2.2.1. Etimologi Simbol

Secara etimologis istilah “simbol” diserap dari kata symbol dalam bahasa Inggris yang berakar pada kata symbolicium dalam bahasa latin. Sementara dalam bahasa Yunani kata symbolon dan symballo yang juga menjadi akar kata symbol, memiliki beberapa makna generik, yakni tanda, memberi kesan dan menarik. Simbol adalah tanda atau isyarat yang digunakan untuk mewakili sesuatu yang lain seperti arti, kualitas, abstraksi, gagasan dan objek.[6]

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, simbol merupakan suatu benda (lukisan, lencana) yang mengandung maksud tertentu yang digunakan untuk menyatakan unsur, senyawa, sifat atau satuan sistematis dalam suatu hal tersebut.[7] Manusia selalu membutuhkan dan menggunakan simbol-simbol, bahkan dengan akal dan pikirannya, manusia mampu dan dapat menciptakan simbol-simbol untuk mengaktualisasikan pikiran dan kehendaknya.[8] Dengan cara itu, berbagai pengalaman dapat didefinisikan dan diatur sesuai dengan cara hidup komunitasnya. Manusia tidak dapat melihat, menemukan dan mengenal dunia secara lansung, tetapi melalui berbagai simbol manusia dapat melihat, menemukan dan mengenal dunia secara langsung. Realitas yang dihadapinya tidak sekedar kumpulan fakta, tetapi mempunyai makna kejiwaan yang di dalamnya simbol berperan memberi keleluasaan pemahaman.[9]

 

          2.2.2. Terminologi Simbol

Secara terminologi, simbol menandakan suatu identitas ataupun keberadaan suatu hal. Agama juga memiliki simbol. Seperti sebuah teratai yang mengembang adalah simbol milik agama Buddha. Sedangkan agama Islam diwakili oleh simbol bulan sabit dan bintang. Lalu, simbol agama Kristen? Tentu jawabannya adalah salib. Simbol lainnya yang tidak sebatas simbol yang mati, tetapi menimbulkan simbol yang hidup, sebab simbol mengemban iman yang mendalam dan makna hidup.[10] Simbol adalah lambang yang berbicara tanpa kata-kata, menulis tanpa tulisan. Oleh karena itu, simbol merupakan cara pengenalan makna secara otonom, maupun logikanya sendiri, tersruktur dalam suatu sistem yang koheren, bersifat mistis dan universal.[11]

Simbol juga merupakan rumusan yang nampak dari segala pandangan, abstraksi dari pengalaman yang telah ditetapkan dalam bentuk yang dapat dimengerti, perwujudan konkret dari gagasan, sikap, putusan, kerinduan atau keyakinan. Simbol keagamaan adalah manifestasi dari sesuatu Yang Kudus dan Yang Suci.[12] Simbol memiliki kedudukan yang sangat penting dalam suatu agama. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan simbol-simbol tertentu dalam setiap upacara keagamaan. Tindakan simbolis ini diyakini berguna sebagai bentuk komunikasi manusia dengan Tuhannya, atau untuk memudahkan umat beragama untuk dapat beraksi langsung dengan Tuhannya.[13]

Definisi yang lain menunjukkan bahwa simbol mengungkapkan sebuah objek yang dekat dengan kehidupan manusia, dan hal ini ditegaskan oleh pendapat Carl G. Jung yang menyatakan bahwa simbol adalah sebuah istilah, nama atau bahkan gambar yang mungkin sudah biasa dipergunakan dalam hidup setiap hari, dan menambahkan pada makna yang telah menjadi kesepakatan bersama. Lebih lanjut Carl G. Jung menyatakan bahwa simbol membantu manusia menyingkapkan sesuatu yang misteri dalam kehidupannya.[14]

 

2.3     Simbol Menurut Alkitab

          2.3.1 Menurut Perjanjian Lama

Istilah simbol tidak kita jumpai dalam Alkitab. Perjanjian Lama menggunakan istilah tanda untuk simbol. Tanda dilihat sebagai suatu obyek yang dapat difungsikan, diberi arti. Dalam Alkitab Perjanjian Lama, antara lain disebutkan bahwa Daud adalah simbol dari pasukannya (II Sam. 18:3). Musa adalah simbol kehadiran Allah di hadapan Firaun (Kel. 7:1). Nabi-nabi dipandang sebagai simbol kehadiran Allah. (II Raj-raj. 4:35, 5:26). Mezbah atau altar dalam Bait Allah adalah simbol pertemuan Allah dengan manusia.[15] Sehingga seseorang dapat memahaminya dengan jelas. Simbol itu dapat berlaku untuk orang, benda, gerakan, atau peragaan yang dibuat oleh manusia:

1.      Manusia sebagai Simbol

Seseorang dapat berlaku sebagai simbol bagi sekumpulan atau sekelompok orang.

a.       Raja Daud adalah simbol (sama dengan) sepuluh ribu orang tentara (2 Sam. 18:3).

b.      Musa sebagai simbol bagi raja Firaun dan sebagai tanda kehadiran Allah (Kel. 7:1).[16]

2.      Benda-benda sebagai Simbol

Benda-benda yang dapat dilihat juga disimbolkan sebagai alat-alat yang bermanfaat, bukan saja dalam komunikasi, tetapi juga dalam arti iman dan jaminan perjanjian, misalnya pelangi yang mempunyai arti tanda jaminan anugerah Allah, atau murkanya telah padam (Kej. 9:11). Demikian juga benda atau alat-alat seperti tabut merupakan simbol kehadiran Allah di mana Hukum Taurat berada di dalam tabut tersebut. Pelataran memberi arti pertemuan Allah dengan manusia. Bait suci merupakan simbol kekuasaan Allah yang universal di dunia ini. Nama Allah yang disebut merupakan tanda kehadiran Allah dalam kebaktian. Korban-korban yang disampaikan kepada Allah di dalam kebaktian masing-masing mempunyai jenis yang khusus sesuai dengan arti perlakuan manusia terhadap Allah dan umat-Nya. (Kitab Imamat).[17]

3.      Gerakan atau Peragaan sebagai Simbol

Gerakan atau peragaan adalah sesuatu yang hidup dan dapat dipahami dengan lebih baik.

a.       Menanggalkan kasutnya sebelah dan memberikannya kepada orang lain adalah tanda bahwa seseorang menyerahkan seluruh hak pribadinya kepada orang yang menerima kasut tersebut untuk diwarisinya (Rut. 4:7).

b.      Seorang tuan yang menusuk telinga calon hambanya, berarti calon hamba tersebut bersedia mengabdikan diri seumur hidupnya kepada tuan yang menusuk telinganya (Kel. 21:6).[18]

 

          2.3.2 Menurut Perjanjian Baru

Dalam Alkitab Perjanjian Baru, Perjamuan Kudus adalah simbol dari kehadiran Yesus mengorbankan diri-Nya dan yang telah dipermuliakan. Roti dan anggur adalah simbol dari tubuh dan darah Yesus. Gereja tidak melarang penggunaan simbol-simbol, sebab berakar pada alam dan pengalaman manusia, tetapi dilarang memuja simbol-simbol. Dalam agama Kristen, khususnya dalam gereja katolik, simbol-simbol keagamaan sangat banyak dan bervariasi. Salib merupakan simbol pengorbanan diri Yesus Kristus sendiri, yang dengan rela menerima kematian (disalibkan) sebagai tebusan bai dosa-dosa manusia. Salib merupakan tiang tegak lurus, yang biasanya memiliki sebuah balok palang, tempat seorang penjahat dipakukan atau diikat dan dibiarkan disitu sampai ia mati (Yoh. 19:17). Itulah cara hukuman bangsa Romawi atas penjahat-penjahatnya atau dapat diartikan lambang penyerahan diri secara mutlak kepada Kristus, bahkan sampai bersedia mati (Luk. 9:23).

Selanjutnya dipakai simbol “Ikan” yang merupakan terjemahan dari kata “Ichtus” (bahasa Yunani), yang juga singkatan atau akronim dari Iesus Christus Theou Uios Salvator, yang artinya Yesus Kristus Anak Allah, Penyelamat. Begitupun dengan roti, simbol dari Tuhan sebagai sumber hidup. Akhirnya juga termasuk simbol keagamaan ialah “Sakramen-sakramen” (bahasa Latin) atau “Misterion” (bahasa Yunani), yakni tindakan atau perbuatan liturgis gereja, di mana melalui perbuatan itu Tuhan menyelamatkan atau menguduskan umat-Nya.[19]

 

2.4     Simbol Menurut Agama Islam

Simbol menandakan suatu identitas ataupun keberadaan suatu hal. Agama juga memiliki simbol. Seperti sebuah teratai yang mengembang adalah simbol milik agama Buddha. Sedangkan agama Islam diwakili oleh simbol bulan sabit dan bintang.[20] Simbol bulan bintang ini secara realitasnya koheren dengan islam, bulan bintang adalah simbolisme dari nabi atau rasul, yang melambangkan hati yang peka. Nabi dan rasul sebagai penghambar sebagai atasan, penerjemah bahasa Ilahiyah dan lain-lain, tidak mungkin ia jalankan secara kekerasan kecuali dengan hati yang terbuka, sehingga mereka disimbolkan dengan orang yang terpilih seperti bulan. Bulan sabit dikaitkan dengan hati, berarti hati yang responsive terhadap cahaya Ilahi.[21]

Dalam konteks simbol keagamaan dalam Islam, Ridwan menjelaskan bahwa simbol-simbol tersebut merupakan sumber tekstual keagamaan yang berupa doktrin permanen sehingga tidak bisa diubah sesuai dengan perspektif para penafsir agama. Pendapat ini merupakan salah satu fenomena penolakan dari sebagian umat Islam terhadap metode tafsir hermeneutika yang mulai dilakukan oleh sebagian intelektual muslim.[22]

Mengenai dinamika penafsiran terhadap simbol-simbol keagamaan di dalam agama Islam, Piliang menjelaskan bahwa untuk mengkaji hal-hal tersebut yang berkaitan dengan komunikasi, maka diperlukan sebuah pemahaman bahwa agama memang menggunakan dua bentuk simbol, yaitu (1) simbol-simbol yang wajib diterima secara ideologis sebagai hal yang bersifat transenden (2) simbol-simbol yang telah diterima secara sosial meskipun sesungguhnya masih terbuka lebar bagi ruang interpretasi.[23]

 

2.5.    Sejarah Munculnya Simbol Agama

          2.5.1. Dalam Agama Kristen

Simbol salib dalam agama Kristen dikenal sejak peristiwa penyaliban Yesus Kristus. Karena jika tidak ada penyaliban Yesus maka tidak ada munculnya ide pengagungan salib, dan bahkan pemaknaan dari simbol salib secara mendalam. Penggunaan simbol salib sebelum agama Kristen diakui sebagai agama resmi sudah ada sejak perjalanan rohani yang dilakukan oleh Helena ibu dari Konstantin sebelum abad ke-4 di Palestina.[24]

Sebelum abad ke-4 pada tahun 326 Masehi menjadi awal mula digunakannya simbol salib. Dimana diceritakan bahwa Helena dalam mimpinya mendapatkan wahyu dari Tuhannya untuk melakukan perjalanan rohani menuju Yerussalem untuk mengunjungi kuburan Yesus Kristus. Ketika Helena tiba di bukit Calvari, di mana bukit itulah diyakini disalibnya Yesus maka Helena memerintahkan beberapa orang untuk menggali tempat tersebut. Setelah penggalian ditemukannya tiga salib di tempat yang tidak berjauhan. Diambillah tiga salib itu, dan untuk membuktikan salib yang digunakan untuk menyalib Yesus maka didatangkannya orang yang sedang sakit parah, maka ditaruhlah salib tersebut di dekatnya, dari salib yang pertama dan kedua tidak ada perubahan dari orang sakit tersebut, dan ketika salib ketiga didekatkan maka terjadilah mukjizat di mana orang yang sedang sakit tersebut kembali pulih. Maka diyakinilah bahwa salib tersebut merupakan salib yang digunakan untuk menyalib Yesus Kristus.[25]

Dengan peristiwa yang menakjubkan itu maka terjadilah Helena dan para pengikutnya kepada salib yang ketiga tersebut. Helena kemudian membawa salib itu kepada anaknya Konstantine dan kepada Uskup Yerussalem. Dari penemuan ini maka dikenallah Helena sebagai penemu salib. Dari penemuan tersebut maka mulailah dikenal simbol tersebut dikalangan umat Kristiani dan berangsur-angsur menjadi simbol agama dari agama Kristen.[26]

Peristiwa tersebut didukung oleh cerita penemuan salib oleh Konstantine. Dimana pada pertengahan hari sebelum terjadinya pertempuran dengan Maxentius, Konstantine mengatakan bahwa ia melihat simbol salib dari cahaya langit di atas matahari. Di situ terdapat tulisan yang berbunyi “Bersama ini taklukanlah”. Dikemudian hari, Kristus muncul dalam mimpinya dengan tanda yang sama, sebuah salib yang agak lengkung di atasnya yang menyerupai huruf-huruf Yunani chi dan rho, dua huruf pertama dari kata Christos. Konstantine tersebut diperintahkan untuk membuat tanda ini pada perisai-perisai para perajurit-perajuritnya dan ia melakukannya. Seperti yang dijanjikan, Kontantine pun memenangkan pertempuran tersebut.[27]  Dari peristiwa tersebut maka Kontantine mulai menggunakan salib sebagai simbol dari pasukannya untuk memerangi seluruh musuhnya, maka dari peristiwa tersebut mengagunglah simbol salib dan mulai dikenal oleh kalangan umat Kristen, maka menyebarlah simbol ini sebagai simbol dari agama Kristen.

 

          2.5.2. Dalam Agama Islam

Simbol bulan dan bintang sangat populer dan dianggap sebagai simbol Islami. Simbol tersebut sering dijumpai pada menara atau kubah, lambang partai Islam Indonesia atau bendera beberapa negara Muslim seperti Turki dan Aljazair. Namun, banyak orang yang tidak mengetahui latar belakang kedua simbol tersebut dapat menjadi identitas keislaman.
Pada dasarnya, Islam tidak pernah mempunyai keterkaitan dengan simbol apapun. Simbol bulan dan bintang mulanya digunakan oleh Kesultanan Turki Utsmani sekitar abad ke-10 (923-1342 H/1517-1923 M) sebagai simbol resmi kesultanan. Simbol ini awal tujuannya adalah politik dan tidak berhubungan dengan ajaran agama. Pada masa kejayaanya, pemerintahan Turki Utsmani berhasil melakukan ekspansi wilayah Islam, terutama ke kawasa Eropa Timur.

Saat itu wilayah Hungaria berhasil ditaklukkan, diantaranya Beograd (Yugoslavia), Albania, Yunani, Rumania, Serbia, dan Bulgaria. Selain kekuasaan tersebut, mereka juga melebarkan kekuasaan ke kawasan timur wilayah Islam. Salah satu goresan sejarah paling agung yang berhasil dilakukan oleh Turki Utsmani adalah ditaklukkannya Konstantinopel, ibu kota imperium Romawi. Pada masa kekuasaan Sultan Muhammad II (Sultan VII Turki Utsmani) setelah menaklukan Konstatinopel pada tahun 1453. Kota Romawi Timur tersebut merupakan bagian dari kekaisaran Byzantium, negara superpower yang kala itu menetapkan Kristen sebagai agama resmi negara. Lambang kotanya adalah bulan dan bintang. Setelah Turki menaklukan Konstantinopel, Muhammad II mengadopsi simbol tersebut menjadi bendera Turki Utsmani. Nama Konstantinopel pun diganti dengan Istanbul. Sebelumnya bendera Turki Utsmani hanya segitiga sama kaki dengan kedua kakinya melengkung dan berwarna merah. Setelah dimodifikasi, bagian tengah bendera ditambahi gambar bulan dan bintang berwarna putih.

Pada tahun 1844, bentuk bendera diubah menjadi segi empat dan kembali mengalami modifikasi tahun1922. Dalam  konstitusi tahun 1936 (setelah runtuhnya Turki Utsmani) bendera tersebut ditetapkan menjadi bendera resmi Turki modern dengan sedikit perbedaan yaitu, bintang dan bulan sabitnya lebih dilansingkan. Sejak digunakan oleh kekaisaran Turki Utsmani, bendera bulan sabit menjadi bendera resmi umat Islam yang berada di Wilayah kekuasaannya yang luas. Wajar jika lambang tersebut sangat melekat di hati umat Islam dari ujung barat Maroko hingga ujung timur Merauke. Inilah lambang yang pernah dimiliki umat Islam secara bersama. Selanjutnya lambang ini seolah menjadi lambang resmi umat Islam yang selalu muncul di kubah-kubah masjid. Bahkan di Indonesia banyak institusi umat Islam  menggunakan lambang ini sebagai identitas, seperti Masyumi dimasa lalu. Di zaman reformasi, muncul pula partai berasaskan Islam yang mengadopsi lambang bulan bintang.[28]

 

2.6     Perkembangan Bentuk Simbol Agama

          2.6.1 Dalam Agama Kristen

Andar Ismail dalam bukunya Selamat Bergumul tentang “Agama Bundar dan Agama Lonjong” menulis, bahwa simbol sebenarnya berawal dari perilaku religius manusia. Manusia menyebut Ilahi dengan berbagai nama. Tiap agama memiliki dan mengembangkan simbolnya termasuk agama Kristen.[29] Simbol merupakan ciri khas agama, karena simbol lahir dari sebuah kepercayaan, dari berbagai ritual dan etika agama. Simbol adalah sarana atau pembawa buah pikiran atau makna. Simbol tidak memberi makna langsung kepada benda, objek atau refrensi, tetapi terhadap ide-ide, nilai-nilai dan paham-paham. Simbol adalah suatu bentuk komunikasi ekpresif, yang mengandung suatu pesan atau informasi yang tidak dapat dikatakan secara langsung. Simbol dapat berimplikasi makna yang tidak hanya berasal dari pengalaman, tetapi merujuk pada realitas yang lain di luar konteks pengalaman.[30]

Salib menjadi simbol identitas bagi umat Kristiani. Pada setiap kesempatan, perjalanan, keseharian umat Kristiani selalu menyertakan simbol salib ini. Bahkan setiap perayaan yang dilakukan umat Kristiani selalu disertakan simbol salib, hal ini bertujuan agar dengan keberadaan simbol tersebut selalu mengingatkan mereka akan keikutsertaan Tuhan dalam setiap kegiatan.[31]

Salib berasal dari kata Yunani σταυρος (stauros)yang merupakan kata kerja stauroo dalam bahasa latin Crux, Crucifigo (hal yang terpenting) artinya yang pertama adalah kayu suluan atau kayu balok yang didirikan tegak, arti kedua kayu suluan sebagai alat untuk menghukum mati seseorang. Dalam arti terakhir Perjanjian Baru menggunakan kata salib sebagai kata benda muncul 28 kali dan kata kerjanya 46 kali.[32]

Salib merupakan suatu lambang universal dan dasariah yang terdapat dibeberapa kebudayaan, misalnya di Mesir salib adalah bentuk ♀ (anch) artinya “hidup”, sedangkan dalam kebudayaan India kuno, salib merupakan lambang keberuntungan. Di samping itu juga, salib dipakai sebagai suatu wadah penghukuman atau sebagai suatu alat untuk mengeksekusi terhadap orang yang melakukan kejahatan atau pemberontakan kepada penguasa. Yang pertama sekali melakukan salib sebagai alat untuk mengeksekusi adalah bangsa Babilonia, Persia dan Fenesia yang kemudian diterima oleh bangsa Romawi.[33]

Dalam Ensiklopedi Umum, salib ialah suatu alat pelaksanaan hukuman mati orang Romawi yang terdiri dari balok-balok yang disilangkan dan orang yang dihukum, dipakukan pada salib tersebut. Penyaliban diperuntuhkan bagi budak-budak dan pemberontak-pemberontak yang akhir hidupnya harus ditandai oleh suatu kejadian yang sangat memalukan di depan umum.[34] Jenis salib ada berkisar 385 jenis dan hanya sebagian kecil yang berhubungan dengan keagamaan. Yesus di salibkan dengan memakai alat-alat hukuman Romawi yaitu salib. Salib itu mempunyai bentuk yang berbeda-beda yaitu:[35]

1.      Crux Simplex, crux simplex adalah salib yang paling sederhana, hanya terdiri dari satu potong kayu saja yang dipancangkan ketanah tegak lurus menunjuk langit.

2.      Crux Commisa, dimana dalam hal ini kayu disusun seperti huruf ┬ besar yang mana lambang ini dianggap berasal dari Dewa Tamuz

3.      Crux Decussata, crux decussata ini disebut juga salib st. Andreas, di mana dalam hal ini bentuk disusun dalam bentuk X

4.      Crux Immisa atau yang disebut juga salib latin merupakan simbol di mana Juru Selamat disalibkan dan meninggal di atasnya. Salib ini dibentuk dari dua balok yang disusun dimana menurut ahli salib ini melambangkan keempat injil. The Greek Cross yaitu salib orang Yunani yang berbentuk ⁺

 

          2.6.2 Dalam Agama Islam

Simbol agama Islam adalah bulan sabit dan bintang. Pada awalnya simbol bulan (sabit) dan bintang digunakan oleh Kesultanan Turki Utsmani sekitar abad ke-10 (923-1342 H/1517-1923 M) sebagai simbol resmi kesultanan. Simbol ini awal tujuannya adalah politik dan tidak berhubungan dengan ajaran agama. Salah satu goresan sejarah paling agung yang berhasil dilakukan oleh Turki Utsmani adalah ditaklukkannya Konstantinopel, ibu kota imperium Romawi. Rasulullah SAW telah menjanjikan akan jatuhnya kota ini ke tangan umat Islam. Berabad-abad lamanya umat Islam memimpikan realisasi kabar gembira Rasulullah itu. Namun, sejak zaman Khulafaur Rasyidin, khilafah Bani Umayyah hingga Abasiyah, kabar gembira tersebut tak kunjung terealisasi. Memang sebagian Eropa sudah jatuh ke tangan Islam, seperti wilayah Spanyol dengan kota-kota besar Kordoba, Seville, Granada, dan Zaragoza, tetapi jantung Eropa belum pernah jatuh ke tangan Islam. Barulah ketika era kepemimpinan Sultan Muhammad II atau lebih dikenal dengan Sultan Muhammad Al-Fatih, ditaklukkanlah Konstatinopel. Lewat pertempuran sangat dahsyat menggunakan senjata termodern kala itu, seperti meriam besar, Muhammad Al-Fatih berhasil menjatuhkan kota yang pernah menjadi ibu kota Eropa tersebut dan menjadikkannya sebagai ibu kota Khilafah Turki Utsmani serta sebagai pusat peradaban Islam.[36] 

Wilayah Khilafah Turki Utsmani mencakup tiga benua beserta peradaban yang ada di dalamnya. Saat itu bulan sabit digunakan untuk melambangkan posisi tiga benua tersebut. Ujung yang satu menunjukkan benua Asia (terletak di Timur), ujung lainnya mewakili Afrika, dan di tengahnya benua Eropa. Sedangkan, simbol bintang menunjukkan posisi ibu kota yang kemudian diberi nama Istanbul, yang bermakna, “Kota Islam”. Lama-kelamaan, simbol bulan dan bintang ini dianggap masyarakat luas sebagai simbol agama Islam. Terbukti dengan dipasangnya simbol tersebut di banyak puncak masjid. Penggunaan simbol bulan dan bintang terjadi pada masa kekuasaan Sultan Muhammad II (Sultan VII Turki Utsmani) setelah menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453. Kota Romawi Timur tersebut merupakan bagian dari kekasairan Byzantium, negara superpower yang kala itu menetapkan Kristen sebagai agama resmi negara. Lambang kotanya adalah bulan dan bintang. Setelah Turki menaklukkan Konstantinopel, Muhammad II mengadopsi simbol tersebut menjadi bendera Turki Utsmani. Nama Konstatinopel pun diganti dengan Istanbul.[37]

Sebelumnya, bendera Turki Utsmani hanya segitiga sama kaki yang rebah dengan garis sisi kedua kakinya melengkung. Benderanya berwarna merah. Setelah dimodifikasi, bagian tengah bendera ditambahi gambar bulan dan bintang berwarna putih. Pada tahun 1844, bentuk bendera diubah menjadi segi empat dan kembali mengalami modifikasi tahun 1922. Dalam konstitusi tahun 1936 (setelah runtuhnya Turki Utsmani) bendera tersebut ditetapkan menjadi bendera resmi Turki modern dengan sedikit perbedaan yaitu bintang dan bulan sabitnya lebih dilangsingkan. Sejak digunakan oleh kekaisaran Turki Utsmani, bendera bulan sabit menjadi bendera resmi umat Islam yang berada di wilayah kekuasaannya yang luas. Wajar jika lambang tersebut sangat melekat di hati umat Islam dari ujung Maroko hingga ujung timur Merauke. Inilah lambang yang pernah dimiliki umat Islam secara bersama. Selanjutnya, lambang ini seolah menjadi lambang resmi umat Islam yang selalu muncul di kubah-kubah masjid. Bahkan di Indonesia banyak institusi umat Islam menggunakan lambang ini sebagai identitas, seperti Masyumi di masa lalu. Hingga di zaman reformasi, muncul pula partai berasaskan Islam yang mengadopsi simbol bulan bintang.[38]

Polemik sejarah penggunaan bulan bintang sebagai simbol terus bergulir. Dalam sejarah umat Islam, tradisi ini bermula saat kekaisaran Turki Utsmani berhasil menaklukkan Konstatinopel dan mengadopsi simbol kota itu sebagai simbol resmi negara. Menurut cendikiawan muslim Prof. Azyumardi di Azra, dalam tradisi Islam, simbol bulan bintang memang sangat dominan, apalagi dalam bidang astronomi Islam. Dalam kalender Hijriah, bulan dijadikan dasar perhitungan astronomis sehingga bulan yang menjadi simbol, bukan matahari. Hal-hal yang bersifat ibadah, seperti shalat, penentuan awal puasa, dan Idul Fitri juga menggunakan bulan sebagai patokan. Sedangkan, teori yang menyebutkan bahwa simbol bulan bintang lahir dari Yunani dan Romawi, menurut Azyumardi hanya sebuah spekulasi. Sebab, bukti tradisi Islam sangat kuat mendukung penggunaan simbol ini secara universal.[39]

 

2.7     Pemahaman Terhadap Simbol Agama

          2.7.1 Dalam Lingkup Kekristenan (Gereja)

Manusia mengungkapkan pertemuannya dengan Yang Kudus melalui simbol, karena simbol tidak sekedar memberikan informasi, tetapi justru menghadirkan dan menyingkapkan Yang Kudus. Dalam lingkungan masyarakatnya sendiri, manusia mengenal dan memahami simbol yang membahasakan sesuatu yang Ilahi dan tidak kelihatan. Simbol menampakkan realitas kehidupan yang lebih kaya dan dipakai untuk memahami dimensi Ilahi.[40]

Simbol menurut Geertz merupakan suatu rumusan yang nampak dari segala pandangan, abstraksi dari pengalaman yang telah ditetapkan dalam bentuk yang dapat dimengerti, perwujudan konkret dari gagasan, sikap, putusan, kerinduan atau keyakinan. Berbagai macam simbol dalam ritual agama merangkum seluruh hubungan, persekutuan dan tanda pengenal yang membentuk kehidupan keagamaan. Simbol agama adalah manifestasi dari sesuatu Yang Kudus, atau Yang Suci. Bagi orang Kristen simbol merupakan kunci yang membuka pertemuannya dengan Yang Kudus. Dengan berbagai simbol, manusia berpartisipasi dalam kehidupan Yang Suci dan melalui kontak ini, mereka merasa mendapatkan ketentraman dan inilah merupakan tujuan dari simbol agama. Berbagai macam simbol dijadikan alat untuk menyimpan dan mengekspresikan pengalaman manusia. Melalui simbol terbentuklah komunikasi antara manusia dengan manusia melalui simbol manusia diperingatkan akan adanya Hakikat Tertinggi yang dipujanya.[41] Seperti apa yang dikemukakan Martasudjita, melalui dan dalam simbol-simbol itu tersembunyi dan terungkap apa yang disimbolkan, yaitu realitas kehadiran Kristus. Jadi, simbol tidak tampil untuk dirinya sendiri, melainkan untuk apa yang dilambangkan. Namun, apa yang dilambangkan itu hanya bisa dialami dan dipahami dalam simbol.[42]

Dalam pemikiran Dilistone yang mendasarkan pada pemikiran Erwin Goodenough menyatakan bahwa simbol adalah barang atau pola yang apapun sebabnya, bekerja pada manusia dan berpengaruh pada manusia, melampaui pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara harafiah dalam bentuk yang diberikan itu.[43]

Pemahaman terhadap simbol menurut para ahli sangat beragam, namun ide, gagasannya menemukan makna pada objek yang menjadi kajiannya, baik itu benda, bahasa, pola dan lainnya dan ini senada seperti apa yang disampaikan Dilistone bahwa menyangkut tentang simbol, rupanya ada kesepakatan umum bahwa sebuah simbol tidak berusaha untuk mengungkapkan keserupaan yang persis atau untuk mendokumentasikan suatu keadaan yang setepatnya. Simbol merupakan alat yang kuat untuk memperluas penglihatan, merangsang daya imajinasi dan memperdalam pemahaman manusia.[44]

 

          2.7.2 Dalam Lingkup Agama Islam

Ketika agama berfungsi sebagai sistem simbol, terdapat simbol-simbol tertentu yang digunakan untuk mengaktualisasikan ajaran agama yang dianutnya. Simbol-simbol itu bisa berupa perbuatan, perkataan, benda-benda, kalimat-kalimat suci, dan sebagainya. Dalam Islam, perbuatan sujud misalnya, merupakan bentuk simbolisasi atas kepasrahan dan penghambaan penganutnya pada Sang Pencipta. Sujud merupakan simbol totalitas kepasrahan hamba dan pengakuan secara sadar akan ke maha besaran Allah SWT. Dalam hal ini sujud yang terdapat dalam salat merupakan bagian dari ritual keagamaan dalam kehidupan masyarakat beragama. Setiap tradisi keagamaan pasti memuat simbol-simbol suci yang dengannya orang melakukan serangkaian tindakan untuk mengimplementasikan keyakinannya dalam bentuk-bentuk ritual, penghormatan dan penghambaan. Ajaran Islam yang termuat di dalam teks-teks suci (Al-Qur’an dan Hadits) adalah ajaran yang merupakan sumber asasi dan ketika sumber itu digunakan atau diamalkan di suatu wilayah sebagai pedoman kehidupan, maka bersamaan dengan itu, tradisi setempat bisa saja mewarnai penafsiran masyarakat setempat terhadap teks suci tersebut. Oleh karena penafsiran itu bersentuhan dengan teks suci, maka simbol yang diwujudkannya juga merupakan sesuatu yang sakral.[45]

 

2.8     Sifat-sifat Simbol Agama

Suatu simbol merupakan suatu stimulus yang menandai kehadiran suatu yang lain. Dengan demikian suatu simbol berhubungan erat dengan maksud tindakan yang sebenarnya.[46] Makna yang kita berikan pada sebuah simbol merupakan produk dari interaksi sosial dan menggambarkan kesepakatan kita untuk menerapkan makna tertentu pada simbol tertentu. Simbol mempunyai beberapa sifat, yaitu :

1.      Simbol bersifat sembarang, sewenang-wenang. Apa saja bisa dijadikan lambang, bergantung pada kesepakatan bersama.

2.      Simbol pada dasarnya tidak mempunyai makna, kitalah yang memberikan makna pada simbol. Makna sebenarnya ada dalam pikiran kita, bukan terletak pada simbol itu sendiri. Simbol itu bervariasi. Simbol itu bervariasi dari suatu budaya ke budaya lain, dari suatu tempat ke tempat lain, dari suatu konteks waktu ke konteks waktu yang lain.[47]

 

2.9     Fungsi Simbol dalam Agama

Dalam penggunaannya, simbol sering kali melibatkan emosi individu, gairah, keterlibatan, dan kebersamaan, sebab simbol menyertakan kenangan-kenangan. Simbol berfungsi menangkap dan menjembatani diri pribadi (masa kini) kepada pribadi lain (masa lalu).[48] Manusia sebagai makhluk yang mengenal simbol, menggunakan simbol untuk mengungkapkan siapa dirinya. Karena manusia dalam menjalani hidupnya tidak mungkin sendirian melainkan secara berkelompok. Manusia sebagai anggota masyarakat dalam melakukan interaksinya seringkali menggunakan simbol dalam memahami interaksinya. Adapun fungsi simbol adalah :

1.      Simbol memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan dunia material dan sosial dengan membolehkan mereka memberi nama, membuat kategori dan mengingat objek-objek yang mereka temukan dimana saja.

2.      Simbol menyempurnakan manusia untuk memahami lingkungannya.

3.      Simbol menyempurnakan kemampuan manusia untuk berpikir. Dalam arti, berpikir dapat dianggap sebagai interaksi simbolik dengan diri sendiri.

4.      Simbol mengingatkan kemampuan manusia untuk memecahkan persoalan manusia, karena manusia bisa berpikir dengan menggunakan simbol-simbol sebelum melakukan pilihan dalam melakukan sesuatu.

5.      Penggunaan simbol-simbol memungkinkan manusia bertransendensi dari segi waktu, tempat dan bahkan diri mereka sendiri. Dengan menggunakan simbol-simbol manusia bisa membayangkan bagaimana hidup di masa lampau atau akan datang.

6.      Simbol-simbol memungkinkan manusia bisa membayangkan kenyataan metafisis seperti surga dan neraka.

7.      Simbol-simbol memungkinkan manusia agar tidak diperbudak oleh lingkungannya. Mereka bisa lebih aktif ketimbang pasif dalam mengarahkan dirinya kepada sesuatu yang diperbuat.[49]

 

2.10   Peran Simbol Agama dalam Hidup Beragama

Dalam arti paling sederhana simbol berarti segala sesuatu yang mengandung arti tertentu yang dikenal oleh anggota-anggota suatu kelompok masyarakat. Dengan kata lain, simbol mewakili sesuatu yang disimbolkan. Simbol biasanya tidak mempunyai arti di dalam dirinya sendiri kalau arti itu tidak diberikan oleh masyarakat. Hal itu berarti bahwa sesuatu yang dianggap sebagai simbol mempunyai arti karena arti itu diberikan oleh masyarakat. Simbol merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam kehidupan beragama. Hubungan dengan yang suci tidak dapat dilakukan tanpa simbol-simbol. Melalui simbol-simbol itu, manusia mengungkapkan relasinya dengan Wujud Tertinggi. Simbol-simbol keagamaan itu membangkitkan perasaan keterkaitan dan kesatuan pada anggota-anggota pemeluk agama yang sama. Memiliki simbol-simbol yang sama merupakan cara yang efektif untuk semakin memperkuat rasa persatuan di dalam kelompok pemeluk. Tentu saja simbol-simbol itu berbeda dari satu agama ke agama yang lain. Karena itu, tepatlah pula kalau dikatakan bahwa simbol-simbol itu mempersatukan kelompok ke dalam, tetapi pada waktu yang sama mempertegas perbedaan mereka dari kelompok-kelompok lainnya.[50]

Dalam konteks kehidupan sosial (termasuk sosio-religius), simbol memegang peranan penting. Pemahaman sikap dan komunikatif terhadap simbol yang digunakan dalam suatu komunikasi sosial, menjamin penerimaan seseorang dalam komunitas tersebut. Simbol dibutuhkan agar seseorang bisa survive dalam suatu komunitas sosial. Lewat simbol yang diikuti bersama, komunikasi dapat dijalankan. Lewat simbol, penguasaan dan pengontrolan satu kelompok yang lainnya dapat dilakukan. Simbol menjadi wahana komunikasi, baik dalam penghayatan terhadap Yang Kudus. Manusia tidak mampu mendekati Yang Kudus secara langsung, karena yang kudus bersifat Transenden. Manusia hanya bisa mengenal Yang Kudus sejauh yang dikenal dengan simbol. Akhirnya simbol muncul sebagai alat untuk mengungkapkan realitas kedalaman makna yang tak dapat dijangkau manusia.[51]

 

2.11   Pengaruh Simbol Agama dalam Menghayati Hidup Beragama

Seorang tokoh yang bernama Clifford Geertz mendefinisikan agama sebagai sebuah sistem simbol yang berperan dan membangun suasana hati dan motivasi yang kuat. Dengan definisi ini, Geertz ingin menekankan bahwa simbol, baik berupa benda, peristiwa, tindakan, cerita-cerita, maupun simbol-simbol keagamaan lainnya sangat berperan penting dalam kehidupan keagamaan. Ia merupakan media dalam mengekspresikan dan menyatakan perasaan, sikap, serta keyakinan seseorang dalam agamanya. Contohnya adalah simbolisasi kesamaan manusia di hadapan Tuhannya pada kehidupan akhirat nanti dalam bentuk ritual ibadah haji. Kitab suci tiap-tiap agama pun merupakan simbol yang mewakili dan mengungkapkan perintah, kehendak, dan Firman Tuhan tersebut menjadi tindakan-tindakan keagamaan sebagai cerminan pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan ketaatan yang diperintahkan Tuhan.[52]

Simbol-simbol agama tersebut pada gilirannya memberikan motivasi dan suasana hati tertentu pada manusia pemeluk agama yang bersangkutan. Motivasi dan suasana hati tersebut bersifat tahan lama, menyeluruh dan kuat tertanam dalam diri manusia. Dengan ungkapan lain, simbol-simbol agama mengakibatkan manusia merasakan sesuatu dan ingin melakukan sesuatu. Suasana hati yang timbul dari sistem agama tersebut tidak semata-mata karena agama merupakan simbol-simbol. Simbol-simbol agama mampu memberikan suasana hati dan motivasi yang kuat pada diri manusia karena simbol-simbol agama tersebut dilekati dengan konsep-konsep umum mengenai tatanan kehidupan.[53]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

TINJAUAN RELIGIONUM TENTANG PEMAKNAAN SIMBOL AGAMA PERSPEKTIF KRISTEN-ISLAM

 

3.1.    Simbol-Simbol Agama Dalam Agama Kristen

Setiap agama memiliki kepercayaan yang berbeda. Dimana kepercayaan itu meliputi berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Kepercayaan yang dianut memiliki berbagai dimensi baik kepercayaan yang berupa materi maupun non materi. Kepercayaan dalam agama ini berhubungan erat dengan upacara-upacara keagamaan dan menentukan tata cara dari unsur-unsur, acara, serta alat-alat yang digunakan dalam upacara.[54] Alat-alat yang digunakan dalam upacara keagamaan biasa disebut sebagai simbol agama. Simbol memiliki kedudukan yang sangat penting dalam suatu agama. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan simbol-simbol tertentu dalam setiap upacara keagamaan. Tindakan simbolis ini diyakini berguna sebagai bentuk komunikasi manusia dengan Tuhannya atau untuk memudahkan umat beragama untuk dapat berinteraksi langsung dengan Tuhannya, alam dan hal-hal yang ada dalam alam metafisik.[55] Dari penjelasan tersebut ada beberapa simbol-simbol agama di dalam agama Kristen, yaitu:

 

3.1.1.  Salib

Salib berasal dari kata Yunani σταυρος (stauros)yang merupakan kata kerja stauroo dalam bahasa latin Crux, Crucifigo (hal yang terpenting) artinya yang pertama adalah kayu suluan atau kayu balok yang didirikan tegak, arti kedua kayu suluan sebagai alat untuk menghukum mati seseorang.[56] Dalam Ensiklopedi Umum, salib ialah suatu alat pelaksanaan hukuman mati orang Romawi yang terdiri dari balok-balok yang disilangkan dan orang yang dihukum, dipakukan pada salib tersebut. Penyaliban diperuntuhkan bagi budak-budak dan pemberontak-pemberontak yang akhir hidupnya harus ditandai oleh suatu kejadian yang sangat memalukan di depan umum.[57] Dalam perjanjian lama kata “salib” tidak ada ditemukan. Kata salib atau penyaliban tidak terdapat karena hukuman mati dilaksanakan dengan lemparan batu. Tetapi adakalanya mayat digantung di sebatang pohon sebagai peringatan (Ul. 21:22-23; Yos. 10:26). Mayat yang demikian itu dianggap terkutuk dan itulah dasar Gal. 3:13 dan harus diambil dan dikuburkan sebelum malam tiba (bnd. Yoh. 19:31). Praktek ini menerangkan tujuan perjanjian baru kepada salib Kristus sebagai sebatang pohon (Kis. 5:30; 1 Ptr. 2:24) lambang penghinaan.[58] Salib menjadi simbol identitas bagi umat Kristiani. Pada setiap kesempatan, perjalanan, keseharian umat Kristiani selalu menyertakan simbol salib ini. Bahkan setiap perayaan yang dilakukan umat Kristiani selalu disertakan simbol salib, hal ini bertujuan agar dengan keberadaan simbol tersebut selalu mengingatkan mereka akan keikutsertaan Tuhan dalam setiap kegiatan.[59]  

 

3.1.2.  Anak Domba Allah

Dalam bahasa Ibrani, Anak Domba disebut dengan שֵׂה (sheh: anak domba). Salah satu ibadah korban yang seringkali disebut khas Israel adalah Korban Paskah, yang merupakan jenis korban sembelihan.[60] Paskah berhubung dengan adanya penyembelihan korban untuk mengingatkan bangsa Israel bahwa Allah membebaskan mereka dan meluputkan mereka dari kematian ketika Ia membunuh semua anak sulung orang Mesir dan ternak mereka. Dengan kata lain, orang Israel diperintahkan untuk merayakan paskah sebagai tanda pengucapan syukur atas kasih Allah yang begitu besar yang telah menyelamatkan bangsa itu.[61]

Ketika Allah bertindak untuk membinasakan seluruh anak sulung orang Mesir dan ternak mereka, Allah memerintahkan  kepada Musa untuk memerintahkan bangsa Israel agar menyembelih seekor anak domba jantan yang tidak bercela, berumur satu tahun dan mengoleskan darahnya pada kedua tiang pintu rumah orang-orang Israel. Rumah-rumah yang bertanda olesan darah anak domba akan dilewati oleh Allah, artinya Allah tidak menjatuhkan hukuman mati bagi anak manusia dan hewan sulung yang ada dalam rumah itu (Kel. 12:1-28). Umat Perjanjian Baru menghubungkan gambaran anak domba Perjanjian Lama dengan Yesus Kristus yang dikorbakan untuk penebusan dosa manusia. Yohanes Pembaptis bersaksi tentang Yesus begini, “Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia”. Jadi, anak domba menjadi simbol Yesus Kristus sebagai penebus.[62]

Mempersembahkan domba memainkan peranan yang amat penting dalam kehidupan agama orang Yahudi dan sistem persembahan. Ketika Yohanes pembabtis berkata: “Lihatlah Anak Domba Allah, yang menghapus dosa dunia” (Yoh. 1:29), orang-orang Yahudi mungkin langsung memikirkan salah satu dari beberapa korban persembahan penting. Menjelang Hari Raya Paskah, pikiran yang pertama di benak mereka mungkin terkait korban persembahan Anak Domba Paskah. Hari Raya Paskah menjadi salah satu hari raya utama orang Yahudi. Hari raya ini untuk memperingati peristiwa Allah melepaskan orang-orang Israel dari perbudakan Mesir. Kenyataannya, penyembelihan anak domba Paskah dan menaruh darah di ambang pintu rumah supaya malaikat maut melewati mereka “yang ditutupi oleh darah” (Kel. 12:11-13) merupakan gambaran yang indah mengenai karya penebusan Kristus di atas salib.[63]

3.1.3.  Ichthus (Iesous Christos Theou Uios Soter)

Secara etimologi, kata Ichthus berasal dari bahasa Yunani yang artinya “ikan”. Ichthus merupakan singkatan dari “Iesous Christos Theou Uios Soter” yang artinya “Yesus Kristus Anak Allah Penyelamat”. Lambang ini muncul sebagai sarana pengenal rahasia bagi umat Kristen ketika hidup dalam penderitaan dibawah kaisar Romawi yang kejam. Beberapa ditemukan di dalam katakomba, yakni pekuburan bawah tanah yang kerap digunakan orang-orang Kristen sebagai tempat pertemuan.[64] Umat Kristen pada abad-abad pertama memerlukan tanda melalui gambar ikan, artinya digunakan sebagai tanda pengenal seorang Kristen kepada yang lain. Ichthus bukan hanya sekedar tanda, melainkan menimbulkan rasa aman dan senang berada dilingkungan sendiri yang menyangkut emosi. Selain pengakuan iman dan tanda pengenal, bagi orang Kristen waktu itu, ikan juga mengingatkan perjamuan yang Yesus adakan bersama ribuan orang. Ikan adalah makanan.[65]

Ada istilah dari Augustinus: piscis assus, Christus est passus (ikan yang dimakan adalah Kristus yang dikuburkan). Hingga kini gambar ikan sering kali menjadi ornamen sebagian gedung gereja. Ikan mengingatkan pula akan kisah Yunus. Yunus dibarui setelah masuk ke dalam perut ikan. Ada tanda baptisan, sebab ikan menghantarnya melewati air kematian menuju kehidupan baru. Dengan demikian, Ichthus dalam masyarakat Kristen mula-mula menyimbolkan baptisan dan kematian, kebangkitan, perjamuan dan Kerajaan Allah.[66]

 

3.1.4.  Burung Merpati

Burung merpati dalam kehidupan sehari-hari menjadi burung peliharaan. Di Eropa burung ini dibiarkan hidup bebas. Kita senang dengan jenis burung ini karena bersih. Burung merpati juga terdapat di Palestina. Para penulis Kitab Suci menggunakan burung merpati sebagai lambang Roh Kudus. Misalnya, Yohanes Pembaptis memberi kesaksian tentang Yesus, “Aku telah melihat Roh turun dari langit seperti merpati dan Ia tinggal di atas-Nya” (Yoh. 1:32). Cerita yang lain yaitu ketika Yesus baru saja dibaptis di sungai Yordan, “Pada saat Ia keluar dari air, Ia melihat langit terkoyak dan Roh seperti burung merpati turun ke atas-Nya” (Mrk. 1:10). Dalam kitab Kejadian 8 dikisahkan air bah mulai surut. Nabi Nuh kemudian melepaskan seekor merpati dan ketika merpati itu pulang, pada paruhnya dibawanya sehelai daun zaitun yang segar (Kej. 8:10-11). Daun segar yang dibawa merpati menandakan bahwa air bah itu sudah berkurang dari atas bumi.

Burung merpati juga biasa dianggap sebagai lambang perdamaian. Sering burung ini digambarkan terbang membawa setangkai daun hijau. Mengapa dijadikan lambang perdamaian? Lambang merpati dihubungkan dengan sikap tulus yang bersedia menjadi utusan untuk menengahi pertengkaran. Daun hijau pada paruhnya melambangkan harapan.[67]

 

3.1.5.  Air 

Air merupakan salah satu unsur alam yang secara mutlak dibutuhkan oleh setiap makhluk hidup. Tanpa air, maka tidak ada kehidupan. Menurut sejarah religi, air juga memiliki makna yang penting. Air dipandang sebagai sumber kesuburan dan kehidupan. Dimana ada air, tanah menjadi subur, dimana ada air maka makhluk hidup tumbuh dan berkembang. Air juga dialami sebagai kekuatan yang bisa menghancurkan, yakni apabila terjadi bencana banjir dan air bah. Jadi, air memiliki aspek menghancurkan. Dalam kehidupan sehari-hari air juga berfungsi untuk membersihkan, untuk mandi, membasuh dan mencuci dari kekotoran.[68] Itulah sebabnya gereja menggunakan air sebagai lambang kehidupan baru dan pembebasan dari dosa yang kita alami dalam pembaptisan.[69]

 

3.2.    Simbol-Simbol Agama Dalam Agama Islam

3.2.1. Bulan Sabit dan Bintang

Simbol bulan (sabit) dan bintang awalnya digunakan oleh Kesultanan Turki Utsmani sekitar abad ke-10 923-1342 H/1517-1923 M sebagai simbol resmi kesultanan. Salah satu goresan sejarah paling agung yang berhasil dilakukan oleh Turki Utsmani adalah ditaklukkannya Konstantinopel, ibu kota imperium Romawi. Rasulullah SAW telah menjanjikan akan jatuhnya kota ini ke tangan umat Islam. Simbol bulan dan bintang ini dianggap masyarakat luas sebagai simbol agama Islam. Terbukti dengan dipasangnya simbol tersebut di banyak puncak masjid. Penggunaan simbol bulan dan bintang terjadi pada masa kekuasaan Sultan Muhammad II (Sultan VII Turki Utsmani) setelah menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453.[70] Sejak digunakan oleh kekaisaran Turki Utsmani, bendera bulan sabit menjadi bendera resmi umat Islam yang berada di wilayah kekuasaannya yang luas. Wajar jika lambang tersebut sangat melekat di hati umat Islam dari ujung Maroko hingga ujung timur Merauke. Inilah lambang yang pernah dimiliki umat Islam secara bersama. Selanjutnya, lambang ini seolah menjadi lambang resmi umat Islam yang selalu muncul di kubah-kubah masjid. Bahkan di Indonesia banyak institusi umat Islam menggunakan lambang ini sebagai identitas, seperti Masyumi di masa lalu. Hingga di zaman reformasi, muncul pula partai berasaskan Islam yang mengadopsi simbol bulan bintang.[71]

Bagi umat Islam, bulan itu tidak dianggap sebagai Allah karena Muhammad sendiri berkata bahwa “Allah-lah pencipta bulan”. Bagi umat Islam, lambang bulan adalah sebagai petunjuk ritme waktu (kalender lunar) dan petunjuk arah. Oleh karena itu, bulan sabit dan bintang pada bendera-bendera negara-negara Islam juga tidak ada kaitannya dengan dewa bulan. Karena pada waktu itu menurut sumber Islam sendiri bahwa ada dewa bulan yang disebut Hubal.[72] Menurut cendikiawan muslim Prof. Azyumardi di Azra, dalam tradisi Islam, simbol bulan bintang memang sangat dominan, apalagi dalam bidang astronomi Islam. Dalam kalender Hijriah, bulan dijadikan dasar perhitungan astronomis sehingga bulan yang menjadi simbol, bukan matahari. Hal-hal yang bersifat ibadah, seperti shalat, penentuan awal puasa, dan Idul Fitri juga menggunakan bulan sebagai patokan.[73]

 

3.2.2. Ka’bah

Di dalam Islam ada simbol yang sudah dikenal oleh umat Islam yaitu Ka’bah. Secara harafiah, kata Ka’bah berarti “bangunan bersegi empat” (muka’ab: persegi empat). Ka’bah merupakan sebuah bangunan suci yang diyakini sebagai rumah ibadat (masjid) pertama didunia, sesuai dengan isi Surah 3:96 yang berisi “sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadat) bagi manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah), yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi manusia. Ka’bah juga disebut sebagai “bait al-atiq” yaitu “rumah suci yang tua” (Surah 22:29), “bait al-haram” yaitu “rumah suci” (Surah 5:97) atau “baitika al-muharram” yaitu “rumah-Mu yang dihormati” (Surah 14:37).[74] 

Ka’bah juga merupakan sebuah bangunan batu kubus yang terletak di Mekkah yang merupakan simbol bagi Rumah Allah. Dengan simbol ini umat Islam mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa.[75] Kata Ka’bah disebutkan dalam (QS Al-Maidah [5] : 97) “Allah telah menjadikan Ka’bah rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia dan demikian pula bulan Haram, hadya, qalaid. Allah menjadikan yang demikian agar kamu tahu bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan bahwa sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. Ka’bah dibangun pada masa jahiliah, tinggi dindingnya pada masa itu masih bisa dilompati kambing. Saat itu, Ka’bah tidak beratap, tutupnya diletakkan tanpa penguat, tidak seperti bangunan di sekitarnya yang menggunakan tanah liat dan jerami.[76]

Ka’bah ini dibangun dengan maksud sebagai pusat ibadat kepada Tuhan. Di dekat Ka’bah terdapat sebuah bangunan kecil yang disebut makam Ibrahim yaitu tempat Abraham berdiri ketika membangun Ka’bah. Surah 2:125 mengatakan (terjemahan): “Dan ingatlah ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman, dan jadikanlah sebagai makam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang i’tikaf, yang ruku dan yang sujud”. Dalam perkembangannya, Ka’bah dijadikan sebagai tempat penyembahan berhala. Di sekeliling dan di bagian dalamnya terdapat banyak sekali patung-patung berhala sembahan, yang berjumlah kurang lebih 360 buah. Sangat mungkin bahwa Allah sebagai dewa tertinggi disimbolkan oleh patung dewa Hubal yang terletak di depan Ka’bah. Menurut Surah 2:125 Abraham dan Ismael diperintahkan oleh Allah untuk membersihkan Ka’bah dari segala macam berhala. Menurut catatan sejarah, baik sebelum Muhammad maupun sesudahnya, Ka’bah sudah beberapa kali terancam hancur, baik oleh maksud-maksud serangan permusuhan dalam penghancuran berhala-berhala, maupun karena bencana alam. Ka’bah telah menjadi pusat ibadat, yang dijadikan simbol pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana telah diletakkan dasar-dasarnya oleh Abraham (Surah 2:125).[77]         

Ka’bah merupakan titik pertemuan umat Islam dari dunia belahan Timur sampai ke Barat. Selain itu, menjadi titik pertemuan para kabilah setelah kedatangan Nabi Ibrahim a.s. Bahkan sebelum itu, Ka’bah telah menjadi tempat yang aman dan didatangi banyak orang dari segala penjuru. Syaikh Muhammad Mutawali Asy-Sya’rawi menafsirkan Ka’bah itu adalah sesuatu yang menonjol berarti tinggi dan ketinggian itu menjadi ciri Al-Bait. Jadi, Al-Bait itu adalah sebuah area sedangkan ketinggian menentukan ukuran.[78] Sekarang Ka’bah menjadi simbol ketauhidan Allah dan pertemuan Muslimin di seluruh dunia. Ketika menunaikan shalat harus mengingat Ka’bah rumah suci Allah yang dibangun oleh Ibrahim a.s dan Ismail. a.s. Ka’bah adalah simbol dari kekuatan dan kemuliaan umat Islam. Ka’bah adalah mutiara Islam. Ka’bah adalah inti dari dunia Islam dan kiblat bagi umat Islam di seluruh dunia.[79]

 

3.2.3. Bintang Delapan

Bintang delapan merupakan salah satu dari bentuk geometris yang universal dan digunakan dalam berbagai kebudayaan di seluruh dunia terkhusus Islam. Penggunaan bentuk ini dapat ditemukan pada beberapa lambang kenegaraan dan dalam ikonografi keagamaan. Bintang delapan memiliki makna terkait dengan setiap budaya, dalam kebudayaan Islam bintang delapan ini disebut dengan bintang kejayaan. Bintang delapan ini berdasar pada Al-Qur’an dan Hadits serta pendapat para masyarakat Muslim. Bintang delapan dalam masyarakat Muslim merupakan salah satu contoh pengejawantahan keilmuwan desain (seni) dengan mengintegerasikan kebudayaan Islam didalamnya. Sehingga simbol bintang delapan ini memiliki makna dan filosofis yang begitu mendalam bagi masyarakat Muslim.[80]

Filosofis tentang bintang delapan yang dilihat dari sudut pandang Islam adalah sebagai berikut diantaranya adalah:

1.      Bintang delapan adalah salah satu bentuk geometris yang merupakan perpaduan dari duah buah persegi yang saling tumpang tindih dengan pusat yang sama yaitu pada sudut 45º. Dianalogikan bahwa dua kotak ini adalah Baitul Makmur dan Ka’bah. Kotak yang lebih tinggi/di atas mewakili Baitul Makmur, yaitu tempat yang menjadi pusat ibadah para malaikat dan melakukan tawaf. Sebagaimana hadits Rasulullah: Dari Qotadah dia berkata, diceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Baitul Makmur adalah sebuah masjid yang ada di langit yang lurus dengan Ka’bah, seandainya Baitul Makmur itu jatuh niscaya menimpa pada Ka’bah. 

2.      Bintang delapan merupakan simbol universal yang mempunyai filosofis tentang keseimbangan, keharmonisan dan ketertiban. Artinya bahwa apapun yang terjadi Allah yang Maha Agung itu sudah mengatur semuanya, karena Dia yang menjaga keseimbangan dan ketertiban tata surya ini. Sebagaimana tersirat dalam surat Al-Baqarah 255: “Tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Maha Hidup, yang terus-menerus mengurus makhluk-Nya, tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Maha Tinggi, Maha Benar.[81]

Bintang delapan juga dianggap sebagai identitas masyarakat Muslim dalam wujud bentuk visual. Sebagian masyarakat Muslim menganggap bahwa bentuk bintang delapan merupakan simbol identitas. Oleh karena itu, bintang delapan seringkali dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakat Muslim dalam mengekspresikan seni visualnya. Bintang delapan digunakan dalam berbagai media yang dibuat oleh masyarakat Muslim, baik sebagai ilustrasi utama atau pendukung. Baik sebagai ornamen dekoratif dalam bidang arsitektur, lambang organisasi kemasyarakatan dan berbagai media lainnya. Al-Qardhawi menjelaskan bahwa, “kesenian Islam khususnya seni rupa tampak dalam bentuk ornamen-ornamen yang mencerminkan keindahan pikiran seniman Muslim dan keterampilan goresan tangannya. Hasil karya seni itu dapat dilihat dengan jelas di masjid-masjid, kitab-kitab, istana-istana, gedung-gedung, dan lain-lain. Seperti pada tembok dan langit-langit, pintu dan jendela, kadang juga di lantai-lantai.[82]   

 

3.3.    Urgensi Simbol Agama Bagi Umat Beragama

Manusia selalu membutuhkan dan menggunakan simbol-simbol, bahkan dengan akal dan pikirannya, manusia mampu dan dapat menciptakan simbol-simbol untuk mengaktualisasikan pikiran dan kehendaknya.[83] Manusia sebagai makhluk yang mengenal simbol, menggunakan simbol-simbol untuk mengungkapkan siapa dirinya. Andaikata simbol-simbol itu pun tidak memadai dalam mengungkapkan makna yang ingin disampaikannya, hal itu karena mereka bagian dari “yang dinamis”, ciri yang berubah, dan hidup dari kesadaran manusia. Simbol-simbol bukan hanya bentuk luar yang menyembunyikan realitas religius yang lebih nyata, melainkan sungguh-sungguh merupakan kekuatan nyata, lewat mana manusia menjumpai Yang Suci. Sebagaimana yang diterangkan oleh Mircea Eliade, simbol-simbol menghadirkan kembali evaluasi balik dari kesadaran manusia dalam hal kenyataan yang transenden dan mutlak.[84]

Secara umum, simbol sangat berdampak bagi umat terkhusus bagi umat beragama Kristen dan Islam bahkan dalam kehidupannya tidak dapat dilepaskan dengan simbol. Begitu eratnya hubungan antara umat beragama dengan simbol-simbol. Umat beragama berpikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis, ungkapan yang simbolis ini merupakan ciri khasnya yang membedakannya dengan hewan. Manusia itu tidak pernah melihat, menemukan dan mengenal dunia secara langsung kecuali melalui berbagai simbol. Kenyataan memang sekedar fakta-fakta tetapi sebenarnya mempunyai makna, karena simbol mempunyai unsur pembebasan dan penglihatan.[85] Simbol merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam kehidupan beragama, karena berkaitan erat dengan yang suci. Secara sederhana simbol berarti segala sesuatu yang mengandung arti tertentu yang dikenal dan dipahami oleh umat beragama. Suatu simbol keagamaan akan memperkuat rasa persaudaraan dan persatuan dalam suatu kelompok. Bernard menulis bahwa simbol-simbol keagamaan itu membangkitkan perasaan keterikatan dan kesatuan pada anggota-anggota pemeluk agama yang sama. Artinya memiliki simbol-simbol yang sama merupakan cara yang efektif untuk semakin memperkuat rasa persatuan di kelompok pemeluk. Dengan demikian simbol-simbol yang terdapat dalam agama merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan beragama bagi penganutnya, karena simbol-simbol itu menghubungkan individu untuk mengekspresikan dan relasinya dengan yang bersifat trasenden.[86]

 

3.4.   Tinjauan Religionum Tentang Pemaknaan Simbol Agama Perspektif Kristen-Islam

Dalam tinjauan ini, penulis akan memfokuskan simbol salib sebagai bahasan utama dalam pemaknaan simbol agama dalam agama Kristen yang juga ada dalam agama Islam (Al-Qur’an). Dalam agama Kristen, penulis akan menguraikan makna simbol salib. Begitu juga dalam agama Islam (Al-Qur’an), penulis akan menguraikan pemahaman Al-Qur’an mengenai salib.

          3.4.1. Dalam Agama Kristen

Agama adalah keterikatan manusia dengan Tuhan. Hal ini tampak dari gambaran agama yang memiliki sikap keterikatan manusia terhadap Tuhan dalam menjalankan dan mematuhi semua ajarannya.[87] Agama dimengerti untuk mengatur hidup para penganutnya agar dapat memberi kebahagiaan di dunia dan diakhirat, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada masyarakat sekitarnya.[88] Didalam setiap agama pasti mempunyai simbol-simbol tersendiri dalam penunjukkan identitas agamanya.[89] Simbol merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana komunikasi dan landasan pemahaman bersama.[90] Artinya simbol itu menghantar menuju sebuah pemaknaan atau keberadaan entitas tertentu. Keberhasilan sebuah simbol dapat dilihat ketika simbol itu mampu memberikan terang atas makna yang menyertainya. Simbol hadir sebagai sebuah tampilan sederhana yang mengandung sebuah makna.

Simbol memainkan peranan penting dalam kehidupan religius manusia dan membawa manusia kepada makna yang lebih mendalam dari pengetahuan biasa. Sehingga banyak agama yang mengangungkan dan memakai simbol dalam setiap perayaan keagamaan. Salah satu simbol yang digunakan oleh agama Kristen adalah salib. Salib merupakan simbol yang sangat penting bagi umat Kristen.[91] Terkait dengan salib banyak pemahaman yang salah dari kalangan non-Kristen yang memicu konflik, sebagaimana yang penulis sebutkan dalam latarbelakang masalah yang akhirnya menimbulkan ketidakrukunan antar umat beragama. 

Marthin Luther mengungkapkan mengenai salib melalui Theologi Crucis bahwa salib Yesus Kristus itu dialami melalui penderitaan. Luther mengatakan bahwa hanya iman saja yang sungguh-sungguh dapat memahami karya Allah pada kayu salib, yang kelihatannya sebagai karya asing dari Allah yang tersembunyi. Melalui iman kita dapat melihat bahwa yang terjadi pada salib justru merupakan pembenaran terhadap orang yang berdosa. Orang berdosa dijadikan kerendahan-Nya bahkan sampai kematian-Nya di atas kayu salib, sementara kemanusiaan-Nya diungkapkan dalam peninggian-Nya.[92] Dalam salib, Allah menyatakan kebenaran-Nya. Tetapi yang dilihat adalah karya asing yang di bawahnya dinyatakan karya Tuhan yang sesungguhnya. Dan untuk menangkap karya Allah yang sesungguhnya, perlu ikut mengalami dan menghayati karya asing itu atau mampu mengimaninya. Melalui iman, satu-satunya tempat untuk menemukan Allah adalah salib Kristus.[93] Menurut Yohanes Calvin, salib itu memiliki makna bahwa korban tunggal yang dipersembahkan oleh Allah di kayu salib telah mendamaikan manusia dengan Allah, sehingga kita dianggap sebagai orang benar dihadapan-Nya. Kematian-Nya di kayu salib memiliki pelunasan menyeluruh sehingga kita dinyatakan tidak bersalah.[94]

Secara umum Alkitab mencatat salib atau penyaliban mengacu kepada salib Kristus walaupun saat itu penggunaan salib disosialisasikan dengan penyaliban para penjahat.[95] Hal ini berarti salib Kristus adalah pusat kehidupan orang Kristen dengan kata lain salib merupakan tanda khas Kristiani yang mengungkapkan keyakinan iman bahwa Kristus mati demi keselamatan manusia sehingga kematian Yesus di kayu salib selalu dikenang dan dihadirkan dalam perayaan-perayaan gereja.[96] Salib merupakan simbol agama Kristen yang memiliki makna penghimpunan perikemanusiaan.[97] Salib adalah tempat dimana Allah menunjukkan kasih-Nya kepada semua orang dan tempat mengakhiri hidup-Nya di bumi.[98] Adapun makna dari salib bagi orang Kristen adalah sebagai berikut:

3.4.1.1. Salib Sebagai Pendamaian

Pendamaian berasal dari kata damai yang artinya tidak ada perang, tidak ada kerusuhan, tenteram dan tenang. Pendamaian adalah suatu keadaan yang menghentikan permusuhan, perselisihan atau ketidaktenteraman.[99] Pendamaian dalam bahasa Inggrisnya Reconciliation merupakan suatu kata sederhana untuk menunjukkan penyelesaian sesudah suatu pertengkaran. Dalam permusuhan antara Allah dengan orang berdosa (Rm.5:16), telah disingkirkan melalui kematian Yesus Kristus. Pendamaian dalam bahasa Yunani ialah Kattalage (κάτάλλάγη) yang berarti diperdamaikan oleh Allah (Rm. 5:10) dan Hilaskomai (ιλάσκομάι) yang berarti mengadakan perdamaian oleh Kristus telah menampilkan suasana baru yang menjembatani hubungan antara Allah dengan manusia. Hubungan ini bukan berwujud permusuhan lagi melainkan berwujud suasana damai. Dengan kematian Yesus Kristus segala hala yang mengganggu hubungan damai telah diadakan.[100]

Mencermati karya pendamaian Allah di dalam Yesus Kristus, kita melihat bahwa Allah mengerahkan seluruh perhatian dan daya pada-Nya untuk menyelesaikan dosa. Tuntutan hukum atas dosa tuntas dibayar. Dosa tidak lagi mempunyai masa depan. Ia sudah ditaklukkan oleh Yesus Kristus dalam serbuan serentak yang dikerjakan-Nya dalam aksi rangkap tiga (sebagai Allah sejati dan manusia sejati, sebagai Raja, Imam dan Nabi, dalam status kerendahan dan kemuliaan). Dosa telah dilumpuhkan dan tuntutan maut dibayar lunas. Manusia berdosa tidak lagi takluk pada kematian. Mereka sekarang dapat menjadi anak-anak Allah karena pengorbanan Yesus Kristus. Dalam karya pendamaian, manusia berdosa telah ditebus yakni dengan kematian dan kebangkatian Kristus.[101]

Rasul Paulus mengatakan bahwa tujuan karya Kristus di dunia ini adalah mendamaikan manusia berdosa dengan Allah. Dalam Roma 5:10 dikatakan bahwa “kita diperdamaikan dengan Allah oleh kematian putra-Nya (bnd. Kol. 1:20-22). Melihat hal itu Paulus mengatakan bahwa sarana pendamaian adalah salib Kristus.[102] Menurut Paulus pendamaian berarti suatu perubahan dalam sikap Allah terhadap manusia. Dalam kerangka ini kematian Kristus telah memungkinkan suatu hubungan yang baru. Suatu perubahan moral yang sesuai dalam diri manusia, agar ia dapat berdamai dengan Allah, adalah hanya melalui sambutan iman terhadap apa yang Allah perbuat, dengan kata lain melalui tindakan menerima pendamaian yang sudah dikerjakan. Allah mencapai pendamaian dengan cara menghapus penyebab keterasingan dan perseteruan itu yakni dosa-dosa manusia.[103]

 

3.4.1.2. Salib Sebagai Penebusan

Ketika kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka status manusia itu berubah. Manusia berada di bawah kuasa dosa dan menjadi hamba dosa. Tuhan Yesus berkata bahwa setiap orang yang berbuat dosa adalah hamba dosa (Yoh. 8:34). Akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa, manusia mengalami keterpisahan dengan Allah atau mati secara rohani dan mengalami hukuman Allah yaitu maut. Maka untuk menghidupkan kembali atau mengangkat status manusia itu perlu adanya suatu jalan yang dilakukan dengan penebusan. Dalam Imamat 25:47-49, jelas dinyatakan tentang penebusan yaitu suatu harga yang dibayar dengan menyelamatkan dan melepaskan seseorang. Penebusan berarti pembebasan dari sesuatu yang jahat dengan pembayaran suatu harga yang disebut uang tebusan dalam bahasa Yunani “Lutron” (λυτρον). Dengan kata lutron dibentuklah secara khusus kelompok kata untuk menyatakan ide pembebasan berdasarkan pembayaran uang tebusan. Dalam lingkaran ide-ide ini kematian Kristus dapat dipandang sebagai suatu tebusan bagi orang banyak (Mrk. 10:45).[104]

Yesus Kristus memberikan diri-Nya sebagai kurban penebusan dosa maka keselamatan terbuka untuk semua orang. Yesus sebagai pengantara kepada manusia. Dia menyerahkan nyawa-Nya sebagai uang tebusan kepada Allah. Dari karya penebusan yang dilakukan oleh Yesus Kristus, Paulus melihat bahwa darah Kristus telah tercurah di kayu salib itu adalah sebagai tebusan untuk menyucikan segala dosa-dosa manusia.[105] Penebusan Kristus ditetapkan untuk mempengaruhi hubungan antara Allah dan manusia, keadaan dan kondisi Kristus sebagai pengantara yang membawa keselamatan, dan keadaan manusia berdosa. Perubahan yang terjadi adalah hubungan antara Allah dan obyek kasih-Nya yang menebus. Allah menebus manusia berdosa (Yoh. 3:16).[106]   

 

3.4.1.3. Salib Sebagai Pembenaran

Kata pembenaran berakar dari kata “dikaioma” (δικάίωμα) yang artinya dibenarkan, menyatakan benar, menyatakan tanpa dosa atau membuktikan tanpa salah. Manusia dibenarkan atau dinyatakan benar karena Kristus dengan manusia “berada dalam Kristus, dengan tidak mempunyai kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, tetapi karena percaya kepada Yesus Kristus, jadi kebenaran yang berdasarkan kepercayaan kepada Yesus Kristus” (Flp. 3:9). Percaya kepada Kristus berarti mengenakan Kristus (Rm. 13:14; Gal. 3:27). Sebab itu barangsiapa di dalam Yesus Kristus ia tidak dihukum (Rm. 8:1). Di muka Allah orang dibenarkan dengan cuma-cuma oleh kasih karunia karena penebusan dalam Kristus dibenarkan oleh darah-Nya. Manusia tidak mempunyai kebenaran dari diri sendiri. Tidak ada seorangpun yang benar dihadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat. Tetapi Allah membenarkan orang yang percaya akan Yesus Kristus. Jadi dasar pembenaran adalah kebenaran Kristus.[107] Manusia tidak dapat memperoleh pengampunan dosa dan kebenaran dihadapan Allah dengan jasa-jasa, perbuatan-perbuatan atau dengan menebus dosa-dosa kita sendiri, sebaliknya kita menerima pengampunan dosa dan menjadi benar dihadapan Allah oleh anugerah, demi Kristus, melalui iman, apabila kita percaya bahwa Kristus menderita bagi kita dan demi Dia dosa kita diampuni dan kita diberi kebenaran serta hidup yang kekal.[108]

Teologi Paulus menurut G. E. Ladd berpusat pada pokok tentang pembenaran oleh iman kepada Kristus yang disalibkan (Rm. 3:22-24). Pembenaran hanya terjadi bagi mereka yang percaya. Melalui pengalaman serta pemikirannya manusia tidak dapat membenarkan dirinya sendiri sehingga Allah telah mempersiapkannya. Karena itu karya Kristus di kayu salib sangat menentukan status manusia dihadapan Allah. Paulus mengatakan bahwa salib Kristus sebagai kegenapan hukum Taurat sehingga kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang percaya (Rm. 10:4) oleh iman kepada Yesus Kristus (Gal. 2:16; Rm. 3:24-28).[109] Dasar kebenaran orang beriman bukan ada pada dirinya sebab yang ada pada dirinya adalah dosa dan pelanggaran. Secara otomatis manusia tidak bisa membenarkan diri tetapi dibenarkan oleh kasih karunia Allah.[110]

 

3.4.1.4. Salib Sebagai Penyucian

Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, dosa itu dilumpuhkan oleh Allah lewat penderitaan dan kematian Yesus Kristus di kayu salib. Ia yang tidak berdosa dibuat menjadi berdosa karena manusia dan menjalani kutukan dosa untuk keselamatan manusia.[111] Dalam hal ini penyucian adalah tindakan memisahkan diri dari yang jahat dan mengabdikan diri kepada Allah (Rm. 12:1, Ibr. 13:12). Penyucian itu terwujud dalam diri orang percaya yang mengakui Kristus telah mati dan bangkit demi menyucikan dosa-dosa manusia. Di dalam peristiwa penjelmaan, Allah menjadi sama seperti manusia, pekerjaan-Nya di kayu salib telah menghapus dosa manusia (Rm. 2:9-14; 10:4-10). Di dalam kematian-Nya Ia menggantikan kedudukan kita sebagai orang yang patut mati.[112]

Dalam Roma 6:1-23, Paulus melihat melalui salib status orang percaya menjadi satu dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya. Paulus melihat salib dalam relasinya menyucikan orang-orang yang berdosa.[113] Kristus mewakili manusia dihadapan Allah. Ia menyelesaikan dosa dengan mengorbankan diri-Nya (Ibr. 9:26), melalui kematian-Nya Ia mengadakan penyucian bagi dosa-dosa umat-Nya (Ibr. 1:3). Ia telah memasuki tempat kudus surgawi bukan hanya untuk menyucikan dosa-dosa dengan darah-Nya  (Ibr. 9:12), melainkan juga untuk menghadap hadirat Allah untuk kepentingan umat-Nya (Ibr. 9:24). Ia sebagai pengantara umat-Nya. Yesus melakukan semuanya ketika Ia telah menyelesaikan karya penebusan. Ia telah menyucikan dosa-dosa umat-Nya melalui pengorbanan-Nya di kayu salib.[114]

 

          3.4.2. Dalam Agama Islam

3.4.2.1. Pemahaman Islam (Al-Qur’an) tentang Yesus       

Dalam Al-Qur’an, Yesus disebut sebagai Isa Al Masih. Nama ‘Isa ditulis dengan huruf-huruf ع (‘ain), ي (ya buka), س (ya tutup). Jadi, nama ‘Isa terdiri dari konsonan ‘ain, sin, dan ya. Nama ‘Isa, baik secara langsung maupun tidak langsung, kebanyakan terdapat dalam surah-surah Madaniyah, dan beberapa dari surah Makkiyah. Dengan memperhatikan nama ‘Isa lebih banyak disebut dalam kelompok surah-surah Madaniyah, dapatlah kita menduga bahwa Muhammad lebih banyak berbicara tentang agama Kristen sesudah ia hijrah ke Madinah. Dalam beberapa ayat, nama ‘Isa digandeng dengan “Putra Maryam” (‘Isa Putra Maryam, sebanyak 16 kali). Menurut al-Qur’an, penciptaan ‘Isa dapat disamakan dengan penciptaan Adam, sebagaimana terbaca dalam Surah 3:59, yang terjemahannya berbunyi: “Sesungguhnya perbandingan (kejadian) ‘Isa di sisi Allah adalah seperti (kejadian) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, “Jadilah”, maka jadialah dia.”[115]

Kemudian, nama Al-Masih adalah bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu al sebagai kata sandang tertentu (definitive article) dan kata masih. Kata “masih” berasal dari akar kata m-s-h yang berarti “mengukur” (to measure) dan “pukulan” (stroke). Kata ini mungkin berasal dari bahasa Aram, mesiha (= Juruselamat) yang masuk pada kosa kata bahasa Arab. Ada pula pendapat yang mengatakan (J. Horovitz) bahwa kata ini mungkin sekali diperoleh dari bahasa Etiopia, masih, dengan arti yang sama, yaitu Juruselamat. Namun yang pasti, Al-Qu’ran memperoleh kata ini dari orang Kristen Arab, yang kemungkinan besar diperoleh dari bahasa Ibrani atau Syiriak.[116]

Salah satu penafsir Al-Qur’an terkenal pada abad ke-9, at-Tabari, dalam komentarnya terhadap Surah 3:45 sebagaimana dikutip oleh Woly (“... hai Maryam, sesungguhnya Allah memberi kabar gembira dengan kalimat dari Allah, namanya Almasih Isa Putra Maryam, seorang yang terkemuka di dunia dan di akhirat ...”) memberikan uraian etimologis mengenai nama Al-Masih. Ia mengatakan bahwa nama itu berarti “yang di sucikan” (dari dosa) dan “yang penuh dengan berkat”. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa kata Al-Masih berasal dari akar kata saha yasihu, yang berarti “mengembara”, atau “menjelajah”. Jadi jika Tuhan Yesus disebut Al-Masih, artinya Dia adalah seorang pengembara atau penjelajah ulung (Sang Pengembara).[117]

Nama Al-Masih ditemukan dalam kita suci Al-Qur’an pada beberapa surah. Dalam Surah 4:172 dan Surah 9:30 hanya disebutkan sebagai Al-Masih tanpa digandengkan dengan nama lain. Dalam dua ayat lainnya disebutkan sebagai Al-Masih Isa Putra Maryam, yaitu pada Surah 3:45 dan Surah 4:157. Dalam empat ayat lainnya disebut bersama dengan Putra Maryam, Al-Masih Putra Maryam, yaitu pada Surah 5:17, 72, 75 dan Surah 9:31. Dari ayat-ayat ini, kelihatannya nama Al-Masih Isa Putra Maryam adalah nama yang diberikan Tuhan kepada-Nya, sebagaimana disampaikan malaikat kepada ibu Maria. Hal ini dapat dilihat antara lain salam Surah 3:45, yang telah disebutkan diatas.[118]

Dalam Hadits yang sahih, kita memperoleh sekurang-kurangnya tiga informasi mengenai Al-Masih melalui:[119]

a.       Sebuah mimpi Muhammad di mana ia melihat seorang lelaki yang tampan dan menari di Ka‘bah, yang berjalan dengan bantuan dua orang lainnya. Ketika Muhammad bertanya siapakah orang itu, ia mendapat jawaban” :Al-Masih Putra Maryam”.

b.      Penegasan mengenai kedatangan kembali Yesus Kristus.

            Pada hari Penghakiman Terakhir umat Kristen akan ditanyakan: “Kepada siapakan kamu beribadat”? Mereka menjawab: “Kami beribadat kepada Al-Masih Putra Maryam”.

            Di dalam Al-Qur’an, Isa memperkenalkan diri-Nya sebagai “Hamba Allah” (Abdullahi), di dalam salah satu dari dua perkataan-Nya sebagai seorang bayi yang baru lahir (Surah Maryam 19:30). Beberapa kali Muhammad menyebut Isa dengan gelar ini (Surah al-Nisa 4:172; Maryam 19:93; Al-Zukruf 43:59). Menurut Al-Qur’an, Isa adalah seorang abdi (abd: Arab sepadan dengan kata Ebed: Ibrani yang berarti Hamba), kita dapat menemui dalam surah 4:172 atau surah 19 Maryam 30 atau surah 43:59, yang berbunyi: Dia (Isa) adalah seorang hamba yang kami beri pangkat nabi kepadanya dan kamu jadikan dia sebagai contoh ajaib bagi bani Israil.[120] Di dalam Al-Qur’an, status sebagai hamba merupakan deskripsi mahluk, sedangkan status sebagai Tuhan dan keilahian merupakan deskripsi yang hanya dimiliki Sang Pencipta. Istilah Al-Quran ‘abd (hamba) tidak hanya berlaku pada Isa Al-Masih, tetapi kepada seluruh ciptaan. Isa al Masih meminta orang-orang untuk mematuhinya, karena dia adalah utusan Allah Tuhannya: “Bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepada-Ku (Q.S Al Zukhruf [43] : 63).

 

3.4.2.2. Pemahaman Islam (Al-Qur’an) tentang Salib dan Penyaliban Yesus

            Pemahaman Islam tentang salib tentunya berasal dari Al-Qur’an sebagai kitab sucinya. Sebelum Nabi Muhammad menyiarkan ajarannya, di Arabiah sudah ada aliran kekristenan, sehingga sejarah terbentuknya agama Islam sangat berkaitan erat dengan sejarah kekristenan di Arabiah. Kekristenan yang tersebar di Arabiah sebelum zaman Nabi Muhammad paling tidak terdapat 5 aliran utama kekristenan: tiga di Utara (kekristenan Byzantium, Monofisitisme Suriah dan Nestorianisme Persia), dan 2 di Barat (kekristenan Koptik Mesir dan kekristenan Abinisia atau Ethiopia).[121] Kekristenan Nestorian tersebar di Oasis Al-Yamama, sedangkan kekristenan Monofisit tersebar di kalangan masyarakat Ghassanid dan di Najran. Kekristenan Koptik Mesir, yang adalah penganut Monofisitisme berkembang di wilayah Jazirah Arab. Kemudian  kekristenan Abinisia, yang adalah pengikut Monofisitisme, juga berkembang di Arab Barat.[122]

            Dalam konsili Efesus tahun 431, kekristenan Nestorian di kutuk sebagai bidat. Kemudian dalam konsili Chalsedon tahun 451 semua aliran yang menganut monofisitisme dan diofisit dinyatakan sebagai bidat. Namun meskipun sudah di kutuk sebagai bidat, para pengikut aliran ini tetap meneruskan ajarannya. Oleh karena sudah dikutuk dan di keluarkan dari Gereja Ortodoks, maka aliran kekristenan ini menyebar dan sampai ke Arabia. Inilah aliran kekristenan yang mempengaruhi pemahaman teologi dari Muhammad sebelum ia menyiarkan ajaran Islam.[123] Artinya campuran aliran kepercayaan itu telah mengelilingi Nabi Muhammad. Tampaknya aliran-aliran tersebut sedikit banyak tentu berpengaruh pada perkembangan Islam. Ringkasnya, bahwa tumbuhnya Islam tidak terlepas dari latar belakang aliran kekristenan yang tersebar di sana. Paling tidak beberapa aspek yang mempengaruhi perkembangan teologi Islam adalah teologi Nestorian yang pada satu pihak mengajarkan bahwa terdapat dua pribadi Yesus, yaitu sebagai manusia dan sebagai Allah dan pada pihak lain menimbulkan kesalahmengertian yang seakan-akan mengatakan bahwa kekristenan itu menganut paham politeisme. Sehingga besar kemungkinan bahwa pesan keagamaan yang dibawa nabi Muhammad merupakan tanggapan atas paham politeisme ini sehingga ia menekankan monoteisme dengan tidak mengakui ketuhanan Yesus Kristus.[124]

            Tentu saja hal ini juga berpengaruh terhadap pemahaman Muhammad tentang penyaliban Yesus atau Isa Al-Masih dan paham tentang makna salib sebagai identitas atau simbol kekristenan. Menurut aliran-aliran bidat yang tersebar di Arabia itu, Yesus yang disebut sebagai Isa Al Masih dapat merubah diri-Nya dari satu rupa ke rupa yang lain. Sehingga bagi mereka Yesus tidak disalibkan tetapi digantikan oleh orang lain yang menyerupai diri-Nya. Dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat mengenai hari-hari terakhir dari Yesus yang sejalan dengan bidat di atas dan juga berlawanan dengan pandangan orang Yahudi. Misalnya, dalam surat An-Nisaah 157/158 sebagai berikut: “Dan karena ucapan mereka (orang Yahudi): Sesungguhnya kami telah membunuh Al masih Isa Putra Maryam Rasul Allah, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang siapa yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali meraba-raba belaka: “mereka tidak (pula) yakin bahwa mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi yang sebenarnya Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya dan Allah adalah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.[125]

Dari pandangan orang-orang bidat yang menyimpang dari ajaran kekristenan itu, dapat dimengerti dengan terang bahwa dalam pertimbangan mereka, salib itu tidak merupakan suatu peristiwa historis atau asas agama (pengajaran) mengenai penebusan. Sebaliknya mereka menolak bahwa salib itu sungguh-sungguh merupakan suatu ibarat atau tanda, seperti bintang yang memimpin orang-orang majus itu kepada palungan anak di Betlehem: atau seperti burung merpati melambangkan kedatangan Roh Kudus kepada Al-Masih (Yesus), ketika Dia di baptis di dalam sungai Yordan. Sebenarnya salib yang berat dimana Isa digantungkan ialah salib yang merupakan mezbah penebusan, dimana Anak Domba Allah dikorbakan untuk menghapus dosa dunia; tetapi bagi sebagian orang, termasuk para bidat, salib ini sama sekali tidak penting. Mereka menolak kebenaran yang dinyatakan oleh Paulus kepada bangsa-bangsa dalam Firman Tuhan yang tertulis di Galatia 3:13-14 yang berisi “Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis “terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib! Yesus Kristus telah membuat di dalam Dia berkat Abraham sampai kepada bangsa-bangsa lain sehingga oleh iman, kita menerima Roh yang telah dijanjikan itu”.[126]

Pemahaman yang paling aneh terhadap salib terdapat di dalam suatu Injil palsu yang ditulis oleh orang-orang bidat, yang menolak penyaliban Yesus. Hal inilah yang menyebabkan orang-orang Islam mewarisi keengganan tentang Al-Masih yang disebabkan menerima pendapat orang-orang bidat yang tersebar di Arabiah, tempat berkembangnya agama Islam itu. Tentang perkataan “orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka (surat Ali Imran ayat 55)”, menurut Imam Fakhr Ed-Din ar-Raji, seorang ahli agama Islam yang bekerja dengan teliti, telah menolak bahwa perkataan Al-Qur’an “shubbia lahum” yang diartikan “orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka”. Menurutnya, tentang ayat 55 surat Ali Imran ini: “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku.....” Selanjutnya dalam tafsirannya dia menerangkan bahwa “rupa” Al masih, yang dijatuhkan kepada orang lain sama sekali tidak mungkin; dengan beberapa alasan-alasan sebagai berikut:

1.      Kalau dianggap bahwa Allah menjatuhkan “rupa” seseorang kepada orang lain, maka pintu sudah terbuka bagi penipuan. Akhirnya setiap nubuatan menjadi tidak benar.

2.      Allah selalu memperkuat Isa dengan Roh Kudus! Apakah dalam hal ini juga Allah tidak sanggup memperkuat-Nya? Isa sendiri sanggup membangkitkan orang mati, apakah Dia tidak sanggup mempertahankan diri?

3.      Allah dapat menyelamatkan Isa dengan menaikkan-Nya ke surga, jadi apa gunanya menjatuhkan “rupa” Al-Masih kepada orang lain?

4.      Kebanyakan orang Kristen, dari Timur sampai ke Barat sangat mengasihi Al-Masih dan mengabdikan diri dalam perkara-Nya. Mereka menyaksikan bahwa Al-Masih itu benar-benar disalibkan. Maka, kalau hal ini tidak kita terima, kita memburukkan sejarah, dan dengan demikian kita juga memburukkan nubuat Muhammad, Isa dan semua nabi-nabi lain.[127]

Dalam Al-Qur’an ada 3 ayat yang membenarkan Dia mati, dan 2 ayat yang menetapkan bahwa Isa Al-Masih mati dibunuh:

1.      Surat Al Maryam 33: “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”. Ayat ini mengakui dengan jelas bahwa Isa Al-Masih telah menjadi manusia, dan mati dan telah dibangkitkan dari antara orang mati. Pengakuan ini merupakan nubuat dan berdasarkan suatu mukjizat. Pengakuan ini adalah sesuai dengan berita Injil dalam bentuk dan isinya.

2.      Surat Ali Imran 55: “Ketika Allah berfirman: Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu, kepada akhir ajalmu, dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu diatas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat”.

3.      Surat Al Maaidah 116-117: “Dan ingatlah ketika Allah berfirman: Hai Isa Putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah? Isa menjawab ‘Maha Suci Engkau..... Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang engkau perintahkan kepadaku..... Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka’.

4.      Surat Al Baqarah 87: “Dan sesungguhnya kami telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) dengan Rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukzijat) kepada Isa Putra Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Rohul Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; maka beberapa orang diantara kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh ?”

5.      Surat Ali Imran 183: “Orang-orang (Yahudi) yang mengatakan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kami, supaya kami jangan beriman kepada seseorang Rasul, sebelum dia mendatangkan kepada kami kurban yang dimakan api. Katakanlah: sesungguhnya telah datang kepada kamu beberapa orang Rasul sebelumku, membawa keterangan-keterangan yang nyata dan membawa apa yang kami sebutkan, maka mengapa kamu membunuh mereka jika kamu adalah orang-orang yang benar”.[128]

Jikalau diteliti dalam cerita-cerita yang ada di Al-Qur’an, akan ditemukan bahwa hanya satu orang Rasul yang datang daripada Allah dengan membawa kurban yaitu Al-Masih. Surat Al Maaidah 114 berbunyi “Isa Putra Maryam berdoa: Ya Tuhan Kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit yang akan menjadi hari raya bagi kami dan menjadi tanda bagi kekuasaanmu: berilah kami rejeki sebab Engkaulah Pemberi rejeki yang paling utama”.[129]

Kembali kepada pembahasan surat An-Nisaa tentang “orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka”, dapat dimengerti bahwa ayat-ayat itu sebenarnya melawan orang-orang yang menolak bahwa Al-Masih sesungguhnya mati. Kematian Al-Masih di kayu salib merupakan kurban pengampunan dosa terhadap manusia. Dengan demikian, bahwa Al-Qur’an juga bersaksi tentang salib dimana Isa Al-Masih (Yesus Kristus) disalibkan untuk menebus dosa-dosa manusia. Dari uraian yang sudah penulis paparkan diatas maka pemahaman tentang salib juga dituturkan oleh Al-Qur’an. Salib itu menjadi tanda penebusan dosa-dosa manusia yang dikerjakan oleh Isa Al-Masih.



[1] H. Heuken, dkk, Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila Edisi Ke-7 (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2012), 31.

[2] H Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, 1.

[3] Dadang Kahjmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Persada Karya, 2000), 13.

[4] T. H. Thallas, Pengantar Studi Ilmu Perbandingan Agama, 19.

[5] Bnd. Ahmad Rivai Harahap, dkk (ed), Ensiklopedi Praktis Kerukunan Umat Beragama (Medan: Perdana Publishing, 2011), 14-15.

[6] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Atropologi, 153.

[7] W. J. S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), 491.

[8] D. Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 29.

[9] Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita, 1987), 10.

[10] Gabe Huck, Liturgi Yang Anggun dan Menawan, 19.

[11] Nurdinah Muhammad, Antropologi Agama, 119.

[12] Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama (Yogyakarta: Buku Pustaka, 2006), 27.

[13] Anton Bakker, Manusia dan Simbol dalam Sekitar Manusia Bunga Rampai Tenang Filsafat Manusia (Jakarta: Gramedia, 1978), 95.

[14] Carl G. Jung, Man and his Symbols (New York: Anchor Press Doubleday, 1964), 20.

[15] P. Sipahutar dan Arifinsyah, Ensiklopedi Praktis Kerukunan Hidup Umat Beragama Edisi Kedua, 332.

[16] Widdwissoeli M. Saleh, Hari Raya dan Simbol Gerejawi (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2008), 51.

[17] A. A. Sitompul, Manusia dan Budaya; teologi antropologi (Jakarta: Gunung Mulia, 1991), 366.

[18] Widdwissoeli M. Saleh, Hari Raya dan Simbol Gerejawi, 52.

[19] P. Sipahutar dan Arifinsyah, Ensiklopedi Praktis Kerukunan Hidup Umat Beragama Edisi Kedua, 332-333.

[20] Gabe Huck, Liturgi Yang Anggun dan Menawan, 19.

[21] Nurdinah Muhammad, Antropologi Agama, 120.

[22] K. N. Ridwan, Agama Borjuis: Kritik Atas Nalar Islam Murni (Yogyakarta: Ar Ruzz, 2004), 132. 

[23] A. Y. Piliang, Hipersemiotika; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), 308.

[24] Lia Mega Sari, “Simbol Salib Dalam Agama Kristen”, dalam Religi, Vol. XIV, No. 2, Juli-Des 2018, 160.  

[25] Lia Mega Sari, “Simbol Salib Dalam Agama Kristen”, 160.  

[26] Lia Mega Sari, “Simbol Salib Dalam Agama Kristen”, 161.

[27] A. Kenneth Curtis, dkk, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2015), 18.

[28] https://republika.co.id/berita/oxt8os396/simbol-bulan-bintang-identik-dengan-islam, diakses pada hari Jumat, 10 Juli 2020, Pukul 15.00 WIB.

[29] Widdwissoeli M. Saleh, Hari Raya dan Simbol Gerejawi (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2008), 51.

[30] John A. Saliba, Homo Religiosus in Mircea Eliade (Netherlands: Leiden E. J Brill, 1976), 83.

[31] William Wood Seymoor, The Cross in Tradition, History and Art (New York and London: The Knickerbocker Press, 1898), 88.

[32] J. D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2001), 341.

[33] A. Heuken, Ensiklopedia Gereja IV, 151. 

[34] A. G Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 960.

[35] Peter Wongso, Hikayat Yesus (Malang: Departemen Literatur SAAT, 1998), 330.

[36] Tata Septayuda Purnama, Khazanah Peradaban Islam (Solo: Tinta Medina, 2011), 38.

[37] Tata Septayuda Purnama, Khazanah Peradaban Islam, 39.

[38] Tata Septayuda Purnama, Khazanah Peradaban Islam, 40.

[39] Tata Septayuda Purnama, Khazanah Peradaban Islam, 43.

[40] Jacobus Tarigan, Vinsensius Felisianus Kama, Hardijantan Dermawan, Akal Budi dan Iman (Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 2019), 15.

[41] Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama, 28. 

[42] Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama, 226.

[43] F. W. Dilistone, Daya Kekuatan Simbol, diterjemahkan oleh A. Widyamartaya (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 19.

[44] F. W. Dilistone, Daya Kekuatan Simbol, 20.

[45] Made Saihu, Merawat Pluralisme Merawat Indonesia; Potret Pendidikan, Pluralisme Agama di Jembrana-Bali (Yogyakarta: Deepublish, 2019), 127-128.

[46] Morissan, Teori Komunikasi (Bogor: Ghalia Indonesia), 89.

[47] Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), 92.

[48] Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi; Sejarah dan Pesan Pastoral Gereja (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), 157.

[49] Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prestasi Pusaka, 2007), 110.

[50] Bernard Raho Svd, Agama Dalam Perspektif Sosiologi, 14.

[51] J. van Baal & W.E.A van Beek, Symbols for Communications (Van Gorcum: Assen, 1985), 158.

[52] Imam Sukardi, dkk, Pilar Islam Bagi Pluralisme Modern (Solo: Tiga Serangkai, 2003), 40. 

[53] Imam Sukardi, dkk, Pilar Islam Bagi Pluralisme Modern, 41.

[54] Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1940), 19.

[55] Anton Bakker, Manusia dan Simbol Dalam Sekitar Manusia Bunga Rampai Tentang Filsafat Manusia, 95. 

[56] J. D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2001), 341.

[57] A. G. Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, 960.

[58] J. D. Douglas, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid II (M-Z), 314. 

[59] William Wood Seymoor, The Cross in Tradition, History and Art, 88.

[60] Marthinus Theodorus Mawene, Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual (Jakarta: BPK-GM, 2008), 72.

[61] Selvester M. Tacoy, Kamus Pintar Alkitab (Bandung: Kalam Hidup, 2012), 250.

[62] I. Marsana Windhu, Mengenal 30 Lambang atau Simbol Kristiani ( Yogyakarta: Kanisius, 1997), 15.

[63] C. J. Den Heyer, Perjamuan TUHAN: Studi Mengenai Paskah dan Perjamuan Kudus Bertolak dari Penafsiran dan Teologi Alkitabiah (Jakarta: BPK-GM, 1997), 48.

[64] I. Marsana Windhu, Mengenal 30 Lambang atau Simbol Kristiani, 22.

[65] Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi; Sejarah dan Pesan Pastoral Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019), 160.

[66] Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi; Sejarah dan Pesan Pastoral Gereja, 161.

[67] I. Marsana Windhu, Mengenal 30 Lambang atau Simbol Kristiani, 31-33.

[68] E. Martasudjita, Memahami Simbol-simbol Dalam Liturgi (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 33.

[69] I. Marsana Windhu, Mengenal 30 Lambang atau Simbol Kristiani, 13.

[70] Tata Septayuda Purnama, Khazanah Peradaban Islam, 36.

[71] Tata Septayuda Purnama, Khazanah Peradaban Islam, 40.

[72] Herlianto, Siapakah Yang Bernama Allah itu (Jakarta: Gunung Mulia, 2005), 104.

[73] Tata Septayuda Purnama, Khazanah Peradaban Islam, 43.

[74] Nicolas J. Woly, Saudaraku di Serambi Iman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 30.

[75] Ahmad Chodjim, Alfatihah Membuka Mata Batin Denagn Surah Pembuka (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), 84.

[76] Mhd. Abdul Hamid A.S & Mhd. Raja’i A.T, Ka’bah Rahasia Kiblat Dunia (Jakarta Selatan: Mizan Publika, 2009), 14.

[77] Nicolas J. Woly, Saudaraku di Serambi Iman, 33.

[78] Mhd. Abdul Hamid A.S & Mhd. Raja’i A.T, Ka’bah Rahasia Kiblat Dunia, 17.

[79] Kammal as Sayyid, Kisah-kisah Terbaik Al-Quran (Jakarta: Pustaka Zahra, 2005), 543.

[80] Ahmad Faiz Muntazori, Simbol Bintang Delapan Sebagai Identitas Masyarakat Muslim, dalam Deiksis, Vol. 05, No. 01, Januari-April 2013, 65, 67.

[81] Ahmad Faiz Muntazori, Simbol Bintang Delapan Sebagai Identitas Masyarakat Muslim, 69-70.

[82] Ahmad Faiz Muntazori, Simbol Bintang Delapan Sebagai Identitas Masyarakat Muslim, 74.   

[83] D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, 29.

[84] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 165.

[85] E. Cassirer, An Essay on Man, An Introduction to Philosophy of Human Culture (New York: New Heaven, 1994), 23.

[86] Syaiful Hamali, Agama Dalam Perspektif Sosiologis, dalam Al-Adyan, Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2017, 237-238.

[87] Dadang Kahjmad, Sosiologi Agama, 13.

[88] T. H. Thallas, Pengantar Studi Ilmu Perbandingan Agama, 19.

[89] Ahmad Rivai Harahap, dkk (ed), Ensiklopedia Praktis Kerukunan Umat Beragama, 532.

[90] F. W. Dilistone, Daya Kekuatan Simbol, 15.

[91] Lia Mega Sari, “Simbol Salib Dalam Agama Kristen”, 157.

[92] A. A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 224.

[93] Tom Jacobs, Syalom, Salam, Selamat (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 83.

[94] Ch. Van den End, Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 8.

[95] Helz Wolfgang Kuhn, Stauros dalam Exegetical Dictionary of The News Testament, Vol III (Eerdmans Publishing Company, 1994), 269.

[96] Edward G. Forrugia, Kamus Teologia (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 287. 

[97] A. G. Pringgodigdo, Ensiklopedia Umum, 960.

[98] Peter Wongso, Kristologi Doktrin Tentang Kristus (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1990), 86.

[99] W. J. S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 290. 

[100] John F. Walford, Yesus Kristus Tuhan kita (Surabaya: YAKIN, 1969), 117.

[101] Ebenhaizer I. Nuban Timo, Allah Menahan Diri, Tetapi Pantang Berdiam Diri (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 299.

[102] Tom Jacobs, Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 1984), 50.

[103] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru Jilid II (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 111.

[104] J.A. Motyer, “Tebus, Penebusan”, dalam J.D. Douglas., Ed., Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid II (Jakarta: YKBK/OMF, 1997), 456.

[105] Louis Berkhof, Teologi Sistematika, Vol III. Doktrin Kristus (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1996), 170. 

[106] Louis Berkhof, Teologi Sistematika III (Surabaya: Momentum, 2005), 205, 208. 

[107] Tom Jacobs, Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru, 211.

[108] Theodore G. Tappert, Buku Konkord Konfesi Gereja Lutheran (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2004), 39.

[109] William Van Gemeramen, The Progress of Redemtion (London: Paternoster Press, 1995), 408.

[110] James D. G. Dounn, The Teology of Paul the Apostel (Michigan: Eerdmans Publishing Company, 1998), 409. 

[111] Ebenhaizer I. Nuban Timo, Allah Menahan Diri, Tetapi Pantang Berdiam Diri, 305.

[112] G. Raymond Carison, Surat Roma (Malang: Gandum Mas, 1978), 47-48.

[113] T. D. Alexander, New Dictionary of Biblical Theology (Leicester: IVP, 2000), 547.

[114] Nursenta Dahlia Purba, “Keillahian Yesus Kristus dalam Surat Ibrani 1:1-4”, dalam Kerusso, Volume I Number 2 September 2016, 18.

[115] Nicolas J. Woly, Saudaraku di Serambi Iman: Mengenal Pokok-pokok Ajaran Agama Sesama Kita Kaum Muslim (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 306-307.

[116] Nicolas J. Woly, Saudaraku di Serambi Iman, 312-313.

[117] Nicolas J. Woly, Saudaraku di Serambi Iman, 313.

[118] Nicolas J. Woly, Saudaraku di Serambi Iman, 313.

[119] Nicolas J. Woly, Saudaraku di Serambi Iman, 314.

[120] Darmawijaya, Gelar-Gelar Yesus (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 44.

[121] Bnd. Bambang Subandrijo, Yesus Sang Titik Temu dan Titik Tengkar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 191. 

[122] Bambang Subandrijo, Yesus Sang Titik Temu dan Titik Tengkar, 192-193. 

[123] Olaf  H. Schumann, Agama-Agama Kekerasan dan Perdamaian (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 387-388.

[124] Bambang Subandrijo, Yesus Sang Titik Temu dan Titik Tengkar, 194.

[125] Iskander Jadeed, Salib dalam Kitab Injil dan Al-Qour’an (Pematang Siantar: Diakonia Sosial Pusat GKPI, 1980), 9. Lih. juga dalam Nicolas J. Woly, Saudaraku di Serambi Iman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 331.

[126] Iskander Jadeed, Salib dalam Kitab Injil dan Al-Qour’an, 9-10.

[127] Iskander Jadeed, Salib dalam Kitab Injil dan Al-Qur’an, 11-12.

[128] Iskander Jadeed, Salib dalam Kitab Injil dan Al-Qour’an, 12-13. 

[129] Iskander Jadeed, Salib dalam Kitab Injil dan Al-Qour’an, 13. 



[1] H. Maratua Simanjuntak (ed.), Merawat Kerukunan Umat Beragama (Medan: CV Manhaji, 2016), 1. 

[2] H. Abu Ahmadi, Perbandingan Agama (Jakarta: Tanpa Penerbit, 1980), 1.

[3] Ahmad Rivai Harahap, dkk (ed.), Ensiklopedia Praktis Kerukunan Umat Beragama (Medan: Perdana Publishing, 2011), 532.

[4] Nurdinah Muhammad, Antropologi Agama (Banda Aceh: Ar-raniry Press, 2007), 119.

[5] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Atropologi (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), 153.

[6] Sujono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 187.

[7] Khadziq, Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta: Teras, 2009), 158.

[8] P. Sipahutar dan Arifinsyah, Ensiklopedi Praktis Kerukunan Hidup Umat Beragama Edisi Kedua (Bandung: Citapustaka Media, 2003), 332-333.

[9] Gabe Huck, Liturgi Yang Anggun dan Menawan (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 19.

[10] Nurdinah Muhammad, Antropologi Agama, 120.

[11] Ahmad Rivai Harahap, dkk (ed)., Ensiklopedia Praktis Kerukunan Umat Beragama, 532.

[12] H. Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, 6.

[13] T. H. Thalhas, Pengantar Study Ilmu Perbandingan Agama (Jakarta: Galura Pase, 2006), 11.

[15] Hazrat Inayat Khan, Kesatuan Idela Agama-agama (Yogyakarta: Putra Langit, 2003), 293.

[16] Barclay M. Newman Jr, Kamus Yunani-Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 157.

[17] A. Heuken, Ensiklopedi Gereja IV (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1998), 151.

[18] A. A. Yewangoe, Agama-agama dan Kerukunan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 223.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelayakan Usaha Kerajinan Keranjang Bambu

Teologi Sistematika